Jumat, 16 November 2007

SHALATNYA RAKYAT DI PEMILU 2004

Shalatnya rakyat di Pemilu dua ribu empat
Banyak yang sempat, lumayan juga yang terlewat
Meski sangat terlambat,
maklumat hasil yang mencuat, banyak pihak yang menggugat.
Entah karena kucing yang kelewat penat,
Entah karena tikus pengerat yang kelewat kuat.
Yang pasti, rakyat akan tetap shalat
meski para modin baru mau berangkat diklat

Shalatnya rakyat di Pemilu dua ribu empat
Sepakat tentang rukun dan syarat
Silang pendapat tentang imam yang hendak didaulat

Shalat secara etimologis berarti “berdo’a untuk kebaikan”. Orang yang mendirikan shalat harus dilandasi niat yang tulus ikhlas karena Allah, dan dalam menunaikan shalat seseorang harus berada dalam kontrol kesadaran yang penuh sehingga segenap syarat dan rukunnya dapat dipenuhi sebagaimana mestinya. Dalam ajaran Islam, untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan tidak cukup hanya dengan berdo’a, tapi harus disertai usaha yang optimal, maksimal dan halal, sehingga adagiumnya Machiavelli “het doel heilight de midellen” tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
Di tengah berbagai aktifitas sehari-hari, shalat pun jangan sampai terlupakan, sehingga peran para modin relatif dibutuhkan guna mengingatkan para hamba Allah untuk menunaikan kewajibannya.
Seandainya pemilu legislatif yang telah kita laksanakan kemarin adalah pemilu yang diwarnai semangat do’a dan ikhtiarnya shalat. Maka kita berharap semoga para caleg yang terpilih, nantinya akan menjadi para modin yang siap mengabdikan dirinya mulai dari mesjid-mesjid agung sampai mesjid negara. Semoga lantang dan merdunya suara mereka yang pernah berkumandang di arena-arena kampanye kemarin, akan tetap bergema menyerukan keagungan Ilahi, keshalihan individual, dan kejayaan bersama, ketika mereka telah berdiri di atas menara-menara. Dan dalam menjalankan tugasnya, semoga merekapun sadar akan godaan dan tantangan yang menuntut kesiapan mental yang prima. Siap stand by di tempat kerja dan hidup bersahaja. Siap meng-“adzani” siapa saja tanpa takut terjatuh dari menara. Dan tentunya siap melakukan shalat berjamaah bersama orang-orang yang diserunya.
Dari pemilu yang sudah-sudah, banyak pengalaman telah mendera kita. Kita mungkin pernah kecolongan, ketika beberapa di antara para modin terpilih itu jadi bisu dan tuli, tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Ada yang karena tidak betah di mesjid, atau karena takut terjatuh dari menara, atau malah dikarenakan sibuk dengan proyek-proyek pengadaan sarana dan pra-sarana mesjid. Atau ada juga yang tetap lantang mengumandangkan adzan, tapi acapkali lebih cepat atau lebih lambat dari jadwal yang semestinya. Atau bahkan di antara mereka ada yang mengurangi jam kerjanya karena ada sementara pihak yang merasa “terganggu” dengan kumandang adzan, terutama oleh adzan ketika matahari terbenam di ufuk Barat.
“Belajar dari pengalaman”. Itulah mungkin sebuah ungkapan klasik yang fasih diucapkan orang namun sulit untuk dilaksanakan. Dari kenyataan pemilu yang baru saja berlalu hanya sedikit sekali yang mampu atau mau belajar dari pemilu lima tahun yang lalu. Sejak proses persiapan sampai proses pengumuman hasilnya, baik pemerintah maupun rakyat, kebanyakan masih “belajar mengalami” dan belum “belajar dari pengalaman” alias trial and error forever.
Sebagai contoh, kurang-lebih seminggu setelah hari pemungutan suara, beberapa elit partai di Jakarta sana sudah pada kebakaran jenggot menunggu dan melihat publikasi perolehan suara yang merupakan bagian dari hasil kerja teknologi informasi (TI) yang digunakan oleh KPU. Ada yang tidak percaya, ada yang minta dihentikan saja, dan berbagai reaksi sumbang lainnya. Padahal kejadian seperti ini pernah terjadi lima tahun yang lalu, dan lima tahun yang lalu pun sudah disadari kurangnya kesiapan SDM pengelola pemilu terutama petugas di TPS-TPS yang merupakan titik awal proses pemungutan suara yang mereka tunggu-tunggu itu. Di sini, perlu kiranya dipertanyakan seberapa besarkah peran mereka selama lima tahun kemarin dalam mendidik atau melatih masyarakat, minimal mengajari bagaimana menjadi petugas yang baik dan benar di TPS-TPS, apalagi pemilu kemarin secara teknis administratif banyak hal yang baru.
Secara kebetulan, penulis, dalam pemilu legislative kemarin mendapat tugas sebagai supervisor entry data di sebuah kecamatan di kabupaten Tasikmalaya. Proses entry data baru mulai dapat dilakukan pada tanggal 5 April 2004, pukul 20.45 WIB, ketika form C1-TI secara berangsur mulai kami terima. Data itupun baru dapat dientry jika sudah tidak ada lagi masalah. Masalahnya cukup beragam, ada kesalahan menjumlah, ada perolehan suara caleg yang melebihi perolehan suara partai, ada calon DPD yang nyata-nyata mengundurkan diri mendapat suara atau partai tanpa caleg yang suaranya masih dimasukkan dalam form rekapitulasi, dan masalah-masalah lainnya. Ada pula keganjilan ketika 18 prosen surat suara dari kurang lebih 21.200 lembar surat suara yang diterima semua TPS di kecamatan tersebut dinyatakan rusak dalam berita acara, sementara sisa surat suara hanya 0,7 prosen saja. Pengiriman form C1-TI pun - melihat keterlambatannya – sepertinya tidak semuanya langsung dikirim dari TPS ke PPK sebagaimana dalam surat edaran dari KPU, tetapi mungkin sempat mampir dulu di PPS. Masalah-masalah serupa, hampir semuanya dialami juga oleh teman-teman kami yang bertugas di kecamatan-kecamatan lainnya.
Dalam hal pengawasan, meskipun sudah ada mekanisme yang telah ditentukan, dalam pelaksanaannya masih banyak celah-celah yang membuka kesempatan bagi oknum-oknum tertentu untuk berlaku tidak jujur, terutama setelah proses penghitungan sampai pengiriman hasilnya ke tingkat PPK. Tidak sedikit para saksi yang kurang jeli atau memang tidak tahu bagaimana seharusnya menulisi berita acara dan apa yang ditulis di dalamnya. Beberapa form C1-TI yang datanya dientry ke komputer ada yang ditulis dengan pensil disertai bekas hapusan di sana-sini, atau ditulis dengan ballpoint di atas sapuan tipp-ex.
Itulah sekilas pengalaman penulis ketika bertugas di suatu daerah yang hanya berjarak kurang-lebih 35 kilometer dari jantung kota Tasikmalaya. Yang terlintas dalam hati dan pikiran ketika mengetahui keterbatasan-keterbatasan seperti itu, adalah keterbatasan-keterbatasan lain yang bisa jadi lebih parah di peloksok-peloksok terpencil di belantara Nusantara ini.
Sementara itu pusat data KPU di Jakarta sana ibarat sebuah warung nasi. Para elite partai tengah menunggu hidangan nasi liwet yang pernah mereka pesan sejak masa kampanye beberapa hari yang lalu. Karena mungkin sudah terbiasa dengan fast food service, pesanan yang agak terlambat dihidangkan itu hampir saja dibatalkan karena ternyata tidak sesuai dengan menu pesanan mereka. Padahal ada yang sudah lama mereka lupakan, mereka lupa bahwa sawah dan ladang sudah jarang, anak-anak petani banyak yang tidak mewarisi keahlian orang tua mereka, sampai-sampai tidak bisa membedakan antara butir-butir beras dengan butir-butir pupuk urea.
Dalam konteks yang lain, belajar dari pengalaman pun bisa saja tidak memberikan dampak perubahan yang berarti. Yaitu ketika sebuah pengalaman hanya bersifat semu sebagai hasil dari sebuah rekayasa pembodohan masal.
Sebuah stasiun televisi pernah menayangkan kilasan sejarah para pemimpin bangsa ini yang menerangkan bahwa sebelum mereka duduk di kursi kepemimpinan, mereka terlebih dahulu mengalami suatu penderitaan dengan beraneka ragam variasinya. Penderitaan tersebut kemudian berbuah simpati rakyat. Dan ketika simpati itu mengalir dalam arus demokrasi, jadilah ia sebuah perahu yang mengantar sang teraniaya ke muara kekuasaan. Sayangnya di muara kekuasaan itu, sang teraniaya yang telah berhasil menjadi nakhoda terkadang lupa daratan. Perahu tidak pernah mengalami proses renovasi yang serius, sementara beban muatan semakin berat, akhirnya ia dan perahunya pun karam.
Episode timbul dan tenggelamnya perahu simpati ini sepertinya telah menjadi sebentuk pola hubungan antara rakyat dan pemimpinnya di negara demokrasi yang unik ini. Dipikulnya amanat penderitaan rakyat oleh pemimpin yang berhasil bangkit dari lembah derita, ternyata tidak kunjung mampu mengangkat rakyat dari kubangan deritanya. Adakah ini akibat dari pasal konstitusi yang berbunyi, “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, yang diinterpretasi secara analogis dengan memelihara atau beternak ayam dimana keberhasilan sang peternak ditunjukkan dengan peningkatan kuantitas ternak peliharaannya, meski dengan modal pinjaman dari sana-sini. Ketika jumlah ternak tidak lagi terimbangi oleh persediaan pakan ternak yang produk impor itu, dengan mudahnya ternak dijual atau digadaikan. Dan tidak perlu heran jika di antara ternak-ternak itu hanya sebagian kecil saja yang protes atau kabur ketika menyadari dirinya akan dijual, digadaikan atau bahkan dimusnahkan oleh sang peternak.
Alhasil, bagi kebanyakan rakyat yang oleh sementara pihak - yang juga rakyat – dikatakan tengah menderita, istilah “penderitaan” sepertinya sudah kehilangan maknanya yang signifikan. Mereka sudah sedemikian terlatih bahkan terdidik untuk bisa menikmati penderitaan ketimbang untuk berusaha keluar dari penderitaan. Dan itulah barangkali aset kekayaan bangsa kita yang masih tersisa dan patut disyukuri terutama oleh para politisi busuk sejak tahun 1945 sampai saat ini -- aset sumber daya manusia yang kurang familiar dengan ungkapan “terjajah oleh bangsa sendiri”, siap dijual, digadaikan, bahkan dimusnahkan, asal oleh saudara sebangsa--. Tidak jadi soal apakah saudara sebangsa itu dalam posisinya sebagai suami, istri, anak, orang tua, pemuka agama, pemuka masyarakat, ketua RT sampai kepala negara, anggota dewan rumah ibadat sampai dewan perwakilan rakyat, pemimpin partai, LSM, atau ormas-ormas. Tidak juga jadi masalah apakah saudara sebangsanya itu dalam posisinya sebagai koruptor, bandar judi, bandar narkoba, germo, mucikari, gembong residivis, atau hanya preman kampung. Soalnya, jangankan untuk belajar dari pengalaman, untuk belajar saja kebanyakan rakyat masih harus bermimpi dulu jadi wakil rakyat yang berani meningkatkan anggaran pendidikan dalam RAPBN.
Jika pepatah mengatakan, “Ora et Labora”, maka sesungguhnya bangsa ini baru sebagian kecil saja yang berkesempatan belajar, sementara sisanya hanya baru bisa berdo’a dan berdo’a. Oleh sebab itu wajar jika kebanyakan rakyat yang “belum terpelajar”, dengan bersahaja baru bisa bersuara :
”Kami merasa nyaman dengan kemampuan kami yang hanya bisa berdo’a, dan kami merasa lebih mudah mencerna bahasa-bahasa mereka yang sekelas dengan kami. Do’a kami yang sering tidak terkabul memang kami sadari, karena mungkin Tuhan sering tersinggung oleh sikap kami. Dalam kefakiran yang menenggelamkan kesabaran, kami sering menitipkan do’a lewat wakil-wakil pilihan kami yang tentunya bersedia memberikan setetes prosentase pengabulan awal dari selautan prosentase do’a kami. Bahkan sebelum do’a kami panjatkan di waktu dluha, pengabulan awal itu sudah turun di saat fajar. Dan ketika Tuhan mengabulkan selautan prosentase do’a kami, wabah amnesia lalu menjangkiti kami dan wakil-wakil pilihan kami, sehingga pengabulan lanjutan dari do’a yang pernah kami titipkan dulu, sudah terlupakan”.
Mereka juga barangkali wajar jika merasa tidak berurusan dengan konsekuensi logis beban piutang nasional sebanyak kira-kira Rp. 8 juta per kapita itu. Mana ada “ayam” yang peduli dengan utang peternaknya, atau merasa malu jika peternakan tempat mereka hidup menempati peringkat yang signifikan dalam hal budidaya korupsi. Untuk kesadaran dan kepedulian nasional itu, perlu proses evolusi “chicken being humanization” yang memakan waktu cukup lama, sebanding dengan lamanya proses “human being chickenization”.
Dalam ke-gharim-an dan ke-muflish-an bangsa ini, jika rasa heran sudah tidak punya tempat dalam panggung politik, maka rasa syukur patut kita panjatkan kepada Allah bahwasanya masih ada bahkan banyak anak bangsa ini yang masih “nekad” mengajukan diri untuk jadi pemimpin nasional. Sebuah fenomena yang dianggap tabu pada masa Orde Baru, sampai akhirnya di tahun ‘90-an ada anak bangsa yang “nekad” berani mengetuk-ngetuk pintu istana dengan “salam suksesinya”. Meski salam itu pada mulanya sering dijawab gonggongan anjing serta cercaan para simpatisan status quo, namun “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, salam itu ibarat virus, ia menembus dinding-dinding kampus dan merambat di kesadaran rakyat sampai akhirnya berhasil mendobrak terbuka pintu istana. Walhasil, kini banyak rakyat yang tanpa malu-malu lagi berkata : ”Jadi Presiden, siapa takut ?”. Maka untuk nikmat terbukanya pintu demokrasi itu, jika ungkapan terima kasih bagi sang pendobrak dikhawatirkan jadi door prize politik yang terlalu pragmatis, maka kita pun patut bersyukur kepada Allah yang telah berkenan mengirim dia sebagai door prize-Nya bagi kita.
Setelah bersyukur, tentunya kita berdo’a lagi semoga pemimpin nasional kita nanti menjadi imam yang betul-betul memahami makna seruan adzan yang kemudian dia aplikasikan dalam shalat berjama’ah yang khusyuk, penuh keikhlasan dan diapun faham betul kondisi jama’ah yang menjadi makmum di belakangnya. Sebab dalam shalat berjamaah, hakikat mengikuti imam itu bukan karena taat atau takut kepada sang imam, tapi semata-mata karena taat kepada Allah SWT. Demikian pula jika sang imam melakukan kesalahan, ada prosedur yang jelas untuk mengoreksinya, tanpa merusak atau membubarkan kelangsungan berjamaahnya sendiri.
Selanjutnya kita juga perlu berdo’a bagi kita sendiri, terutama do’a agar kita diberi kekuatan ekstra dalam menghadapi kenyataan apapun yang akan terjadi nanti sebagai akibat dari ketetapan hati kita untuk memilih atau tidak memilih pemimpin nasional kita. Sebab, meski era kita ini adalah era informasi, namun tetap saja kita berada dalam relativitas keterbatasan dalam mengetahui secara memadai jati diri para calon pemimpin yang hendak kita pilih, bahkan bisa juga informasi yang kita terima itu bertolak belakang dengan kenyataannya. Apalagi jika uang berikut berbagai macam penjelmaannya sudah ikut berbicara, dengan setting krisis ekonomi yang kita hadapi, mungkin berita yang tertulis di media-media cetak itu hanya setahi kuku saja bobotnya dibandingkan dengan angka nominal yang tercetak di lembaran-lembaran atau lempengan-lempengan alat tukar tersebut, karena lebih simpel, efektif, dan tidak perlu susah-susah belajar membaca apalagi berpikir. Semua itu bisa mengakibatkan terjadinya salah pilih, dan kesalahan itu harus siap kita hadapi akibatnya minimal untuk lima tahun ke depan. Itupun jika jarum jam sejarah bangsa ini tidak diputar mundur oleh pemimpin kita nanti.
Akhirnya, beresonansi dengan Buya Syafii Maarif yang berusia hampir kepala tujuh (Republika, 27-04-2004), penulis sebagai seorang yang berusia baru kepala tiga, merasa wajib mengajak bangsa ini untuk berenang dalam dzikir dan do’a, menepi di antara khauf dan raja’, tentunya setelah kita berusaha optimal dan maksimal dalam menunaikan “ibadah mencari pemimpin” dalam pemilu 2004 ini.
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Arrahmanirrahim, maliki yaumiddin,
iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in,
Ihdinash shiratal mustaqim, shiratal ladzina an’amta ‘alaihim,
Ghairil maghdlubi ‘alaihim, waladl dla_llin.
Semoga ….

_____________________________

Tidak ada komentar: