Minggu, 14 Desember 2008

RESUME MATERI PEMBAHASAN TARI KOMUNAL

Pendahuluan

Tari komunal adalah segala aktivitas tari yang melibatkan instrumen atau struktur sosial kemasyarakatan baik atas dasar kepentingan bersama dalam komunitas maupun kepentingan individual. Sebagai contoh, dalam peristiwa tari komunal yang ditandai dengan terlibatnya unsur sistem sosial yang telah ada di antaranya adalah dengan Tampilnya pemuka masyarakat sebagai pemimpin.

Ditinjau dari identitasnya secara umum, tari komunal merupakan tarian yang lahir dari semangat kebersamaan sehingga memiliki fungsi sosio-kultural bahkan bisa menjadi salah satu pendukung upacara ritual keagamaan. Dalam praktiknya tari komunal dapat dilaksanakan tanpa keahlian tari secara khusus, karena tarian tersebut tidak terlahir sebagai karya cipta seorang seniman tari.

Oleh sebab itu tari komunal memiliki ciri-ciri utama sbb :

- Diadakan untuk kepentingan komunitas

- Melibatkan sistem sosial yang telah ada

- Merupakan pengabdian sosial dan lingkungan

- Dilaksanakan secara spontan atau terencana

Fenomena bahwa tari komunal bisa saja menjadi suatu kewajiban adat di suatu daerah atau menjadi sebentuk pengabdian sosial dan lingkungan, sehingga dalam hal ini kemahiran tehnik tidak begitu diperlukan dapat kita lihat di Tanah Karo di mana kaum muda-mudi di sana merasa melanggar adat jika tidak terlibat dalam upacara inisiasi Guro-guro Aron.

Aturan yang berlaku dalam tari komunal secara umum tidaklah baku dan bersifat kebiasaan. Namun pada awal abad ke-20 di Jawa Barat tumbuh tradisi pelajaran tari Tayub yang bersifat standar. “Tarian pelajaran” ini kemudian dikenal sebagai Ibing keurseus. (course-Inggris)

Karena ketidakbakuan aturan dalam tari komunal, maka banyak peluang untuk berimprovisasi. Namun improvisasi haruslah dilakukan dengan benar sesuai konteksnya. Karena itu seorang penari tradisi/komunal harus betul-betul memahami ruang sosial budayanya. Sehingga dia tidak menafsirkan improvisasi itu sebagai suatu kebebasan bergerak yang mutlak dan tidak terbatas. Improvisasi pun perlu profesionalisme.

Aspek profesionalisme ini bisa menjadi salah satu hal yang diperhatikan dalam tari komunal. Seperti dalam kasus perkolong-kolong, ketika penari tampil para penonton biasanya menilai aspek-aspek teknis seperti kekayaan gerak tari, keterampilan atau kelenturan tubuh, kekuatan fisik, dan kedalaman kesenimanannya. Sehingga bagi penari perkolong-kolong yang profesional di samping tari komunal ini menjadi media hiburan, baginya akan menjadi media komersil yang bisa diandalkan sebagai mata pencaharian. Dengan komersialisme seperti itu ia akan selalu meningkatkan profesionalitasnya agar bisa bersaing dalam dunianya sebagai penari perkolong-kolong.

Macam-macam Pelaku Tari Komunal

Dengan dilatarbelakangi adat kebiasaan, atau norma-norma yang berlaku di suatu daerah, dan juga bentuk dari tariannya sendiri, pelaku tari komunal bisa bermacam-macam.

Sebagai contoh ada tari komunal yang dibatasi hanya boleh dilakukan oleh gadis-gadis yang belum menginjak fase menstruasi. Hal ini sebagaimana yang berlaku dalam sebuah tarian dari Bali yaitu tari Sanghyang Dedari. Ada juga yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang punya kekuatan magis seperti pada tari komunal Dabuih dari Sumatra Barat. Atau tari Seblang dari Banyuwangi yang perlu didampingi oleh seorang berkemampuan khusus.

Atau untuk tarian yang dilakukan oleh orang banyak ada norma-norma yang membatasi interaksi antara laki-laki dan perempuan seperti pada tari Saman di Aceh. Ada juga tari Baris Gede di Bali atau tari Perang di Nias yang hanya dilakukan oleh kaum laki-laki. Bahkan ada juga yang harus dilakukan oleh waria seperti dalam tari Bissu dari Bugis yang dilatarbelakangi oleh tradisi trasvestite-nya (laki-laki yang berperan sebagai perempuan).

Kelahiran dan Perkembangan Tari Komunal

Pada umumnya kelahiran suatu tari komunal dimaksudkan untuk tujuan ritual / upacara tertentu. Seperti tari Tortor dari Batak, atau tari Hudoq dari Dayak. Namun dalam perkembangannya ada juga yang lahir sebagai reaksi terhadap kondisi tertentu seperti tari Rudat di beberapa daerah di Jawa yang lahir dari lingkungan mesjid atau pesantren sebagai reaksi terhadap kehadiran kolonialis Belanda.

Di beberapa daerah ada sejenis tari komunal yang beralih fungsi dari media upacara adat menjadi media hiburan. Tari ini memposisikan penari perempuan sebagai penghibur. Namun di Bayuwangi ada juga tarian sejenis yang masih dilestarikan sebagai upacara adat. Tarian tersebut adalah Tari Gandrung.

Dan pada umumnya saat ini telah banyak tari komunal yang beralih fungsi menjadi media hiburan ketika tarian ini ditampilkan dalam acara-acara seperti pernikahan, perpisahan, kenaikan kelas, khitanan dan sebagainya. Atau ketika tari komunal dari daerah tertentu ditampilkan di daerah lain yang berbeda latar belakang budayanya.

Dan manakala tarian dipandang sebagai karya seni pertunjukan atau tontonan semata, maka diperlukan bakat, intensitas, dan keseriusan berlatih secara khusus.

Istilah-istilah untuk menunjuk makna Tari dan Penari

- Igel atau Solah di Bali, penarinya disebut Pragina.

- Dalang yang bagi masyarakat Cirebon berarti penari

- Joget, taya, beksa yang berarti tari di Jawa Tengah

- Jaga yang berarti tari di masyarakat Bugis.

- Dance / dansa dari bahasa Inggris

Elemen-elemen Utama Tari

- Tubuh

Sebagai salah satu elemen utama dalam tari, tubuh mempunyai substansi utama yaitu gerakannya. Karena tarian adalah salah satu cabang seni yang mengandalkan keindahan gerak. Dalam melihat unsur tubuh sebagai medium tari, ada bagian yang kasat mata ada juga yang tidak kasat mata seperti otot dan darah.

- Ruang (Ruang positif dan Ruang Negatif)

- Imaji Dinamis

Di dalam tari, aspek-aspek ruang yang menimbulkan imaji dinamis bisa dilihat dari hal-hal berikut ini :

- Dari ketinggian atau level gerakan penari

- Dari arah hadap atau arah pandang penari

- Dari volume atau ukuran ruang gerak

- Dari arah gerakan penari

Dan dinamika dalam tari tidak selalu tercipta karena bergerak-geraknya si penari, hal ini terbukti dalam tari Pakarena dari Sulawesi Selatan.

- Energi (tenaga/kekuatan/stamina dalam menari)

- Waktu (menyangkut durasi, irama, dan tempo tarian)

Karakter-karakter dalam Tarian

- Serius / khidmat

- Riang dan Komikal

- Kombinasi Serius, Riang dan Komikal

Tempat Pertunjukan Tari

- Menetap : seperti tari kecak, saman, dsb.

- Berpindah : seperti tari barong pengamen.

Bergerak : seperti pawai, ondel-ondel, ogoh-ogoh, dsb.

RESUME MATERI PEMBAHASAN ALAT MUSIK DAWAI

Pengantar Alat Musik Dawai

Alat musik dawai merupakan salah satu jenis alat musik yang terdapat di hampir seluruh penjuru dunia. Dalam pengelompokan menurut Kurt Sach dan Von Hornbostel alat musik dawai dikenal dengan istilah Kordofon (chord = tali/senar/dawai) artinya alat musik yang sumber bunyinya berasal dari getaran dawai.

Alat musik ini bentuknya beraneka ragam di setiap daerah dengan namanya masing-masing. Terkadang ada kesamaan bentuk tapi namanya berbeda seperti alat musik Al-’Ud dari Arab yang bentuknya mirip dengan alat musik Gambus dari Palembang. Atau alat musik Hitek di Flores yang bentuknya mirip dengan Keteng-keteng dari Karo.

Atau dari segi penamaan banyak kemiripan meskipun bentuknya berbeda. Seperti alat musik hasapi, kulcapi, dan husapi di Sumut, sape dan sampeq di Kalimantan, kacapi di Sunda, kacaping dan katapi di Sulawesi, dan sebagainya. Bahkan di negeri Persia terdapat alat musik dutar dan sehtar. Keduanya sama-sama alat musik dawai. Perbedaannya yang paling utama terletak pada jumlah dawainya (du = dua dan seh = empat). Keduanya juga dilihat dari namanya ada hubungan dengan nama alat musik seperti guitar, gitar, siter, atau alat musik di Italia pada abad ke-19 yang disebut chittara.

Alat musik dawai banyak digunakan dalam aktivitas-aktivitas budaya di berbagai lingkungan masyarakat di seluruh dunia, baik dalam budaya tradisional maupun modern. Seperti di masyarakat Jepang ada sebuah tarian yang disebut “Azuma Asobi” yang dilakukan dalam sebuah upacara adat. Tarian ini biasa diiringi alat musik dawai siter wagon yang juga disebut Yamato-goto. Atau di Nusantara ada alat musik engkratong yang merupakan salah satu jenis alat musik dawai bersejarah yang pernah dipakai masyarakat Murut dan Iban yang berada di pulau Kalimantan.

Penyebaran alat musik dawai juga tidak bisa dipisahkan dari kaitannya dengan aktivitas keagamaan dan penyebarannya. Seperti kalau kita mendengar alat musik gambus maka alat itu lebih dekat jika diasosiasikan dengan misi Islam. Berbeda dengan organ yang lebih dekat jika dikaitkan dengan gereja / Kristen.

Akustika Alat Musik Dawai

Alat musik dawai sebagaimana alat musik lainnya terutama dalam proses pembentukan suara memiliki hubungan erat dengan ilmu akustika. Dalam dunia musik, ilmu akustika berkaitan erat dengan bagaimana merancang dan menyusun struktur alat musik, cara memainkannya dan cara memanipulasi suara dengan tehnik-tehnik tertentu.

Di dalam proses pembentukan suara alat musik dawai, dikenal juga proses amplifikasi. Proses amplifikasi merupakan proses penguatan bunyi dengan tehnik atau alat tertentu. Ada amplifikasi dengan tehnik resonansi di mana pada alat musik dawai, ketika dawai bergetar ada benda lain (resonator) yang juga ikut bergetar sehingga energi bunyi yang dihasilkan lebih kuat dan lebih keras terdengan oleh indera pendengar manusia. Di samping itu ada juga amplifikasi yang menggunakan alat listrik seperti amplifier.

Resonator pada alat musik dawai pada umumnya berupa rongga udara yang terdapat pada badan alat musik dawai. Perhatikan alat musik seperti gitar, biola, kecapi dan sebagainya yang masing-masing memiliki rongga udara dengan bentuknya masing-masing. Ada juga alat musik dawai yang resonatornya berupa rongga mulut seperti ”busur musikal” dari Afrika atau Brazil.

Keterangan :

A = Dawai / Senar B = Jembatan / Bridge C = Papan Resonator D = Busur


Bila dawai (A) dipetik maka akan bergetar, getaran itu kemudian merambat melalui jembatan suara (B) menuju ke papan resonator (C) sehingga ia ikut bergetar dan menambah kerasnya bunyi yang dihasilkan. Tapi bunyi yang dihasilkan tidak akan keras lagi jika busur (D) diangkat karena yang bergetar tinggal dawai itu sendiri dan busurnya.

Jembatan Suara (bridge)

Dalam alat musik dawai, jembatan suara ini berperan penting dalam merambatkan getaran dawai menuju resonator. Secara umum semua alat musik dawai memiliki jembatan suara, kecuali pada alat Busur Dawai dari Afrika / Brazil yang resonatornya menggunakan rongga mulut.

Ada beberapa istilah untuk menyebut jembatan suara ini, di antaranya : kuda-kuda, tumpang sari, inang, (di daerah Sunda) srenten (di Jawa), dan sebagainya.

Bahan baku, bentuk, dan ukuran jembatan suara ini pun bervariasi. Pada umumnya jembatan suara dibuat tipis atau runcing pada bagian yang bersentuhan dengan dawai agar suara yang dihasilkan lebih jelas dan mulus, tapi ada juga beberapa alat musik dawai seperti dari India yang pada bagian itu dibuat lebar, baik pipih maupun cembung. Hal ini dimaksud kan untuk memunculkan nada harmonik yang berasal dari gesekan friksi antara dawai dan jembatannya.

Dalam alat-alat musik dawai yang pada setiap senarnya ketika dimainkan bisa dilakukan perubahan nada, fungsi jembatan ini diperankan juga oleh batas-batas pemisah nada pada papan jari yang dikenal dengan istilah fret. Beberapa instrumen dawai ada yang memiliki fret (fretted) seperti pada gitar ada juga yang tidak memiliki fret (unfretted/fretless) seperti pada biola, cello, dsb. Instrumen dawai yang memiliki fret menghasilkan bunyi yang stabil dan akurat. Berbeda dengan yang fretless di mana bunyinya lebih fleksibel dan berayun, bergantung pada ketajaman sense of tone pemain musiknya.

Fisika Bunyi pada Alat Musik Dawai

Untuk mempelajari proses pembentukan bunyi pada alat musik dawai kita perlu mengingat kembali pelajaran IPA di SMP tentang Fisika Bunyi. Ada beberapa prinsip utama dalam fisika bunyi di antaranya yang berkaitan dengan pembentukan gelombang. Busur Dawai bisa dijadikan media paling sederhana dalam mempelajari tentang pembentukan gelombang ini.








Di dalam fisika bunyi ini berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut :

- Keras dan lemahnya bunyi ditentukan oleh lebar getaran (amplitudo)

- Tinggi rendahnya nada ditentukan oleh frekuensi (jumlah getaran per detik)

- Pada alat musik dawai amplitudo ditentukan oleh keras-lemahnya petikan pada dawai, sementara frekuensinya ditentukan oleh panjang-pendeknya dawai dan besar-kecilnya ukuran diameter dawai.

Bahan baku dawai juga berpengaruh pada frekuensi meskipun tidak begitu besar. Hanya yang pasti perbedaan bahan baku ini sangat berpengaruh pada aspek warna suara (Timbre) yang dihasilkan. Suara dawai yang terbuat dari baja, timbre-nya akan berbeda dengan dawai yang terbuat dari nilon meskipun frekuensi yang dibunyikan sama. Hal ini sama halnya dengan perbedaan warna suara (timbre) pada alat-alat musik seperti piano, gitar, biola, terompet, seruling dan sebagainya pada saat alat-alat musik itu membunyikan nada yang sama.









Klasifikasi Alat Musik Dawai

Dalam dunia musik dikenal berbagai macam pengelompokan alat musik. Pengelompokan ini didasarkan pada bervariasinya aspek yang dijadikan dasar pengelompokan. Ada yang mengelompokkan berdasarkan bentuk, bahan baku, sumber bunyi dsb. Seperti dalam tradisi musik klasik Barat dikenal klasifikasi alat musik stringed instruments (instrumen berdawai), percussion

instruments (instrumen ritmis), dan wind instruments (instrumen tiup).

Pengelompokan yang cukup terkenal adalah pengelompokan yang dilakukan oleh Kurt Sach dan Von Hornbostel yang mengelompokkan alat musik berdasarkan sumber bunyinya sebagai berikut :

1. Chordophone = dari getaran dawai (chord)

2. Membranophone = dari getaran selaput kulit / plastik

3. Aerophone = dari getaran udara

4. Idiophone = dari getaran badan alat itu sendiri

5. Elektrophone = dari energi listrik.

Di samping kelima kelompok di atas, untuk beberapa kasus seperti alat musik hitek dari Flores atau Keteng-keteng dari Karo, kedua alat musik ini merupakan kombinasi dari dua klasifikasi yaitu Idiophone dan Chordophone. Sehingga muncul istilah Idiochord karena alat musik ini sumber bunyinya adalah getaran dawai yang mana dawai itu sendiri berasal dari badan alat musik itu.

Kurt Sach dan Von Hornbostel pun mengelompokan alat musik dawai (chordophone) berdasarkan karakteristik bentuknya menjadi 5 (lima) kelompok yaitu :

1. Kelompok Busur

2. Kelompok Lira

3. Kelompok Harpa

4. Kelompok Lut

5. Kelompok Siter

Jenis busur pada umumnya ditandai dengan kedua ujung dawai yang diikatkan pada kedua titik ujung penyanggah. Akibat tarikan dari regangan dawai, kedua ujung penyanggah yang lentur membentuk lengkungan busur.

Jenis lira dan harpa, pada prinsipnya ditandai hubungan antara posisi dawai dan kotak suaranya. Untuk jenis lira posisi dawai sejajar dengan sebagian permukaan kotak suaranya. Adapun untuk jenis harpa posisi dawai tegak lurus terhadap kotak suara.

Jenis lut dan siter, pada prinsipnya ditandai dengan sama-sama memiliki kotak suara dan posisi dawai yang sepenuhnya sejajar dengan permukaan kotak suara. Perbedaannya kalau jenis lut memiliki leher (neck) yang berfungsi sebagai papan jari (finger board) atau penyangga dawai (string bearer), sementara jenis siter tidak memiliki leher.

Karakteristik alat musik dawai secara umum bisa digolongkan pada salah satu dari lima kelompok di atas. Kecuali untuk alat musik Kora dari Afrika yang karakteristik bentuknya bisa masuk jenis harpa dan bisa juga masuk jenis lut. Oleh sebab itu alat musik ini dikenal juga sebagai alat musik harp-lut.

Jumlah Senar pada Alat Musik Dawai

Alat Musik Dawai Dunia

Nama Alat Musik

Jumlah Dawai

Dan Bao Vietnam

1 buah

Shamisen Jepang

3 buah

Sehtar Persia

4 buah

Sitar India

6, 7, 13 buah

Kora Afrika

21 buah

Alat Musik Dawai Nusantara

Nama Alat Musik

Jumlah Dawai

Hasapi Toba, Kulcapi Karo,

2 buah

Rebab Jawa / Sunda

2 buah

Gambus Melayu

7 buah

Kecapi Sunda

15 – 18 buah

Sasando NTT

9, 10, 11, 24, 48 buah

Di samping jumlah dawai yang bervariasi, karakteristik lain dari alat musik dawai adalah dalam hal kombinasi dawainya. Ada yang dawai tunggal seperti pada kecapi, dawai ganda seperti pada gambus dan al-'Ud, ada juga dawai tripel seperti pada piano dan saz dari Turki.

Dalam alat musik dawai pun dikenal adanya dawai simpatetik yaitu dawai yang sengaja dipasang tidak untuk digetarkan secara langsung tetapi akan ikut bergetar ketika dawai utama dibunyikan. Alat musik berdawai simpatetik ini contohnya seperti Sitar dari India

Selanjutnya berkaitan dengan nada-nada yang dihasilkan dalam alat musik dawai, nada tersebut pada umumnya merupakan nada yang bunyinya paling kuat (fundamental). Sementara nada-nada lain yang bunyinya lebih lemah disebut dengan anak suara atau nada harmonik.

Dalam alat musik dawai tertentu seperti Tanpura dari India, dikenal juga nada drone, yaitu nada yang dibunyikan secara terus-menerus dan dipertahankan sampai lama, baik hanya satu nada maupun beberapa nada.

Pelarasan pada Alat Musik Dawai

Pelarasan merupakan satu cara untuk mengatur bagaimana nada-nada dalam alat musik ditentukan / distel susunannya. Istilah lain untuk pelarasan adalah "penyeteman" seperti yang biasa dilakukan pada gitar.

Pada alat musik dawai pelarasan ini bisa dilakukan dengan mengatur ketegangan dawai melalui bagian pengatur pelarasannya seperti jembatan suara atau kupingan (tunning pegs). Seperti pada gitar dilakukan dengan memutar-mutar bagian kupingannya, pada kecapi dengan menggeser-geser tumpang sari-nya di samping memutar-mutar tunning pegsnya. Atau pada alat musik Kora yang dilakukan dengan cara menggeser-geser tali pengikat dawainya.

Dengan pelarasan ini maka alat musik dawai dapat dimainkan sesuai dengan karakteristik harmoni tangga nada alat tersebut.

SB.........SB.. kacian de loe !!!!

Kamis, 12 Juni 2008

RESUME MATERI KALIGRAFI

Tujuan dasar dari penciptaan tulisan adalah untuk mewujudkan bahasa secara visual untuk menyampaikan informasi bagi diri kita sendiri atau orang lain. Kaligrafi mencakup dua unsur utama yaitu unsur tulisan yang mengutamakan prinsip keterbacaan dan unsur estetika / seni yang mengutamakan prinsip-prinsip proporsi, komposisi, keseimbangan dan ekspresi.

Dalam dunia tulisan dikenal istilah grafem yaitu suatu simbol yang digunakan dalam suatu sistem tulisan. Simbol ini bermacam-macam seperti Huruf, angka, titik, koma, atau Fathah, kasrah, dlommah, sukun dalam bahasa Arab, atau “karakter” dalam tulisan Tionghoa, atau “curek” dan “pamaeh” dalam aksara Sunda

Sistem tulisan ada beberapa jenis :

1. Sistem logografis yaitu sistem yang memfungsikan grafem untuk menandai satu kata seluruhnya seperti tulisan kanji yang dipakai di Tiongkok (cina)

2. Sistem silabis yaitu sistem yang yang memfungsikan grafem untuk menandai suku kata

3. Sistem Alfabetis yaitu sistem yang memfungsikan grafem untuk menandai bunyi yang terdapat dalam suatu kata seperti yang digunaan dalam tulisan Latin.

4. Sistem Campuran

Semua sistem tulisan yang ada di dunia sifatnya terbatas, oleh sebab itu para ahli bahasa menciptakan suatu sistem tulisan yang disebut International Phonetic Alphabet (IPA) untuk kepentingan menganalisa beraneka ragam sistem tulisan yang terbatas itu.

Salah satu contoh keterbatasan tersebut adalah suatu kenyataan bahwa sebuah sistem tulisan biasanya diperuntukkan bagi orang yang sudah memahami bahasanya (native speaker). Bagi English native speaker misalnya grafem ganda terkadang dibaca tidak seperti adanya grafem tersebut, tergantung konteks katanya. Dalam kata night dan through grafem ini malah hilang dari ucapan, dalam kata ghost yang terdengar hanya , dalam kata enough jadi dan seterusnya.

Sistem tulisan mempunyai sejarah perkembangan yang cukup panjang dan sepertinya memiliki keterkaitan satu sama lain. Di Mesir ada tulisan kuno hieroglif, tulisan Arab Hijaiyah dulunya berkembang dari sistem tulisan Aramaik, Bangsa Yunani pun mengembangkan sistem tulisan Phoenicia menjadi tulisan Latin yang kita kenal saat ini, dan seterusnya sistem tulisan Phoenicia inipun digunakan oleh orang-orang Roma (Italia), Euboea, Etruria, dan bangsa Eropa lainnya.




Tradisi baca-tulis di kalangan bangsa Arab pra-Islam pada umumnya baru tersebar di kalangan tertentu khususnya di kalasngan rahib-rahib Nasrani. Pada masa Islam sistem tulisan Arab ini mengalami perkembangan penyempurnaan seperti apa yang telah dilakukan oleh Imam Abu al-Aswad Ad-Dualy yang telah memberikan tanda titik untuk beberapa grafem yang memiliki kesamaan bentuk sehingga tidak lagi membingungkan.

Sistem tulisan Arab pada masa Islam ini memiliki peran penting dalam proses dakwah Islam. Di samping karena Islam sendiri memang sangat berperan dalam memicu perubahan budaya bangsa Arab, pada Abad ke-13 telah berkembang suatu pandangan bahwa agama dalam hal ini Islam telah mendasari semangat perkembangan IPTEK. Hal ini bisa dibuktikan dengan turunnya wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW yang telah membuka kesadaran pentingnya budaya baca-tulis sebagai titik awal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Seiring perkembangan sistem tulisan Arab, berkembang juga berbagai jenis khat (tulisan) kaligrafi Arab. Fleksibilitas sistem tulisan Arab telah menjadikannya mudah beradaptasi dengan beraneka budaya yang dihampirinya. Hal ini terbukti dengan lahirnya jenis-jenis kaligrafi Arab di beberapa daera seperti di Irak muncul Kaligrafi Bagdadi, di Spanyol muncul Kaligrafi Andalusi, di Persia muncul Kaligrafi Farisi atau di Kufah muncul Kaligrafi Kufi, dengan bentuk yang mempunyai keunikan sendiri-sendiri.

Dalam khazanah ajaran Islam ada sebuah hadis riwayat Said ibnu Hasan tentang larangan menggambar makhluk bernyawa. Hadis itu memang difahami dengan berbagai pendekatan. Ada yang menafsirkan secara kontekstual bahwa Larangan tersebut berlaku pada masa-masa awal pembinaan aqidah umat Islam, ada yang menafsirkan bahwa semua gambar makhluk bernyawa dilarang, ada yang menafsirkan Boleh menggambar makhluk bernyawa tapi tidak utuh, dan beberapa penafsiran lainnya. Sehingga dalam kondisi seperti itu muncul juga kreatifitas para seniman kaligrafi yang di antaranya mereka membuat karya-karya kaligrafi dengan bentuk dasar makhluk hidup seperti burung, kuda, manusia, harimau, dsb.

TULISAN DI RUANG PUBLIK

Seiring perkembangan teknologi, baik tulisan maupun kaligrafi pun ikut berkembang dengan dukungan berbagai media yang dihasilkan perkembangan teknologi. Dengan ditemukannya mesin cetak oleh Johan Gutenberg, maka tulisan yang tadinya hanya berupa karya tunggal dengan proses kreatif yang panjang menjadi karya yang bisa diproduksi secara massal dengan proses mekanik yang relatif lebih cepat. Apalagi dengan adanya media kertas hasil penemuan bangsa Tiongkok (cina) pada tahun 105 M yang kemudian dikembangkan secara besar-besaran oleh Khalifah Harun Al-Rasyid pada abad ke-8, tulisan dan cetakan semakin berkembang mengantarkan sambil mencatat sejarah peradaban manusia.

Produk cetakan seperti sampul buku atau majalah dalam proses pembuatannya melibatkan berbagai macam keterampilan, terutama pada bidang-bidang seperti Tipografi, Fotografi, Desain grafis, dan Ilustrasi. Apalagi dengan adanya komputer sebagai salah satu produk hasil perkembangan teknologi dapat memungkinkan kita mengerjakan proses penerbitan suatu karya tulis atau desain grafis sendiri. Hal ini disebabkan karena dalam komputer dikembangkan sebuah sistem yang dikenal dengan istilah Desktop Publishing System. Dengan melalui media komputer juga orang bisa membuat desain huruf sendiri, sehingga kalau kita masih ingat film Batman Forever maka kita akan menemukan ada jenis font khusus yang digunakan dalam film tersebut yang sedemikian familiar jika kita melihatnya. Ciri khas seperti itu tentunya tidak terlepas dari seniman yang merancangnya yaitu : Maseeh Rafani dan Mark van Bronkhorst.

Dalam dunia tipografi yang mempelajari berbagai rancangan tipe-tipe tulisan, secara umum ada dua bentuk aksara berdasarkan pada bentuk ujung-ujung dari badan huruf. Kedua bentuk tersebut adalah : kelompok serif dan kelompok san-serif. Berbagai macam bentuk aksara masing-masing memiliki Rasa Bentuk Aksara sendiri-sendiri. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari adanya prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam unsur-unsur seni rupa sendiri yaitu garis, bidang, dan warna yang di sisi lain melekat juga pada aksara. Sebagai contoh, garis lurus cenderung membawa rasa tegas dan pasti, garis bergelombang memberikan kesan rasa berlagu atau berlenggok, garis bergerigi membawa kesan rasa tidak stabil, gagap, gelisah, dan sebagainya.

Tulisan di ruang publik ternyata tidak semuanya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan informasi. Hal ini dapat kita amati dari berbagai macam tulisan yang terdapat pada isim atau rajah. Tulisan dalam benda-benda tersebut memang hanya ditulis saja tanpa perlu dipikirkan apa terbaca atau tidak, bahkan ada yang selanjutnya hanya dibungkus dengan kain hitam lalu dijadikan kalung dsb.

Kaligrafi memiliki ciri yang paling mendasar yaitu bahwasanya aksara menjadi objek untuk dieksplorasi sebagai unsur estetis. Seperti halnya dalam seni rupa, seni kaligrafi juga dipengaruhi oleh adanya aliran-aliran seperti Kubisme, Dadaisme, Lettrisme, dll.

Dadaisme merupakan gerakan dalam kesenian, baik dalam seni sastra, seni rupa, maupun teater yang dalam manifestasinya menentang kaidah-kaidah estetika yang sudah mapan / standar.

Di Indonesia banyak para seniman lukis yang karya-karyanya tidak sedikit yang terinspirasi oleh seni kaligrafi Arab. Mereka di antaranya adalah Abay D. Subarna, Ahmad Sadali, A. D. Pirous, dan Amri Yahya.


Halaman Rujukan pada buku KALIGRAFI

3

5

7

8

9

14

19

21

22

31

56

57

58

60

67

70

75

120

122

123

129

131

132

134

137

138

146

148

158

176