Selasa, 30 Agustus 2011

CATATAN-CATATAN IDUL FITRI 1432 H

Dari : http://www.facebook.com/groups/alumnikampusputihyogya/?id=240237292687748&ref=notif&notif_t=group_activity


Penetapan Idul Fitri, 1 Syawwal 1432H = 31 Agustus 2011M
oleh Mohamad Iqbal Santoso pada 19 Agustus 2011 jam 14:55

Hasil perhitungan Hisab Hakiki diperoleh data sebagai berikut:
Ijtima/Konjungsi Awal Bulan Syawwal 1432H Senin 29 Agustus 2011 jam 10.04 WIB
Ketinggian bulan saat magrib senin, 29 Agustus 2011M di seluruh Indonesia kurang dari 2˚ variasi datanya adalah:
dari ufuk hakiki berkisar antara -0,60˚ sampai dengan 1,40˚ atau
dari ufuk terlihat (mar-i) berisar antara -0,1o˚ sampai dengan 1,60˚
Saat mata hari terbenam jarak sudut (elongasi) antara Bulan dan Matahari di wilayah Indonesia berkisar antara 5,58˚ sampai dengan 6,83˚
Umur Bulan atau selisih waktu antara terbenam Matahari dengan waktu terjadinya konjungsi untuk wilayah Indonesia berkisar antara 5,50 jam sampai dengan 8,62 jam
selisih waktu terbenam Bulan dengan Matahari di wilayah Indonesia berkisar antara 1 menit sampai dengan 9 menit.
Fraksi Illuminasi Bulan atau persentase perbandingan antara luas piringan Bulan yang tercahayai oleh Matahari dan menghadap Bumi dengan luas seluruh piringan Bulan berkisar antara 0,24% sampai dengan 0,36%.
Berdasarkan data tersebut di atas, maka walaupun di sebagian besar wilayah Indonesia saat maghrib posisi bulan sudah di atas ufuk, ketinggian bulan tersebut tidak memungkinkan untuk terlihat karena terhalang (ghumma), atau hilal belum/tidak wujud, sehingga: bulan Ramadhan 1432H digenapkan 30 hari (istikmal) dan 1 Syawwal 1432H ditetapkan Rabu, 31 Agustus 2011

Dasar Hukum Penetapan tersebut adalah:

يَسْئَلُونَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ …
Mereka bertanya kepadamu tentang Hilal (bulan sabit). Katakanlah: "Hilal / Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji… (QS Albaqarah 189)

صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ غُبِّيَ عَلَيكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلآثِينَ (متفق عليه)
Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari. (Bukhori 1776)

صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُم فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلآثِينَ (رواه مسلم)
bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang maka tetapkanlah (shaum) 30 hari. (Muslim 1796)

لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ
Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihatnya. Apabila kalian terhalang sempurnakanlah jumlahnya menjadi tiga puluh. (HR Bukhori 1774)

اِذَا رَأيْتُمُ الـهِلاَلَ فَصُوْمُوا واِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَاِن غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ يَوْمًا (رواه مسلم)
Apabila kalian melihat hilal, maka shaumlah dan jika kalian melihat hilal (kembali) maka ahirilah shaum. Tetapi jika terhalang (sehingga hilal tidak terlihat) shaumlah 30 hari (Muslim 1808)

Itstinbat dari dalil-dalil diatas adalah:
Awal bulan ditetapkan berdasarkan kemunculan hilal (bulan terlihat bercahaya)
Lafadz-lafadz: فَاِنْ غُبِّيَ - فَاِنْ أُغْمِيَ - فَاِن غُمَّ dalam hadits-hadit di atas mengandung makna jika bulan "ghumma/terhalang" atau "tidak terlihat sebagai hilal" (walaupun di atas ufuq) maka bulan tersebut tidak/belum wujud menjadi hilal atau tidak bisa disebut hilal
Berdasarkan penelitian astronomis bulan disebut hilal atau dapat diamati sebagai hilal jika saat maghrib:
tinggi bulan > 4˚ dan elongasi bulan ( jarak bulan-matahari) > 6,4˚ (Thomas Djamaluddin, 2010)
fraksi Iluminasi (prosentase piringan bulan yang menghadap bumi tercahayai matahari) > 0,5%
umur bulan Lebih dari 8 jam

Garut, 17 Ramadhan 1432H (17 Agustus 2011M)
22 Agustus jam 2:31 ·  ·  · 



-------------------------------------------------------------------------------------------------

  • Wawan Gunawan Abdul Wahid ‎1 Syawal 1432= 30 Agustus 2011
    22 Agustus jam 5:30 · 

  • Adek Sembiring Ajengan asep ente aja gak lulus ilmu falak dri syech Abdurrohim, dah berani-beraninya nentuin 1 syawwal....kekekekekekek...kalau gak punya observatorium pribadi gak usahlah prediksi2, nanti kacau umat...(canda ajengan)
    22 Agustus jam 12:09 · 

  • Asep Santo Wawan Gunawan Abdul Wahid,kalo beca penetapan diatas, 1 Syawal 1432 + 31 agustus 2011
    22 Agustus jam 16:11 · 

  • Asep Santo Adek Sembiring, ha..ha... iya sy masih inget,ketika ilmu falak nilai sy A,karena dosenya pa Oman..
    22 Agustus jam 16:13 · 

  • Wawan Gunawan Abdul Wahid Salam,
    1. jika prinisp hisab wujudul hilal digunakan maka yang relatif dapat dipertanggung jawabkan adalah 1 syawal 1432= 30 agustus 2011 apatahlagi Sdr Asep Santo dapat barokah nila A dari Kang Oman Fathurrahman jika mau tabarruk ke guru maka hasil perhitungan di atas harus diikuti karena itu dihitung oleh kang Oman;
    2. Hal itu didasarkan pada bunyi "fa in ghumma 'alaykum fakmillu iddatta sysyahra tsalaatsiina yauman" itu bukan sabda Nabi tapi tambahan dari rawi. matan yang benar-benar dari Nabi saw adalah "fa in gumma 'alaykum faqduruu lahu". Tentu saja ada perbedaan antara "karangan kalimat dari rawi sempurnakan bilangan bulan 30 hari" dengan "kalimat Nabi saw maka pastikanlah dengan mengkadar kannya (menghitungnya)";
    3. Sangat disayangkan para Ustadz di Persis yang biasanya cermat membaca hadis kali ini tidak cermat atas kalimat tambahan rawi "fakmilu iddata syahra tsalatsina yauman". Maaf!

    22 Agustus jam 18:52 melalui  · 

  • Asep Santo ‎>>>>Penetapan 1 Syawal 1432 H (Pimp. Pusat Muhammadiyah)
    Kemungkinan besar adanya perbedaan penetapan tangal 1 Syawal 1432 H, jauh-jauh hari Majlis Tarjih dan Tajdid Pusat Muhammadiyah menetapkan 1 syawal 1432 H, jatuh pada tanggal 30 Agus 2011. Perbedaan ini timbul karena masing-masing pihak menggunakan metode yang berbeda dalam penentuan awal bulan dalam penanggalan hijriah. Untuk penentuan awal bulan, ada yang hanya menggunakan hisab (perhitungan) saja, ada yang hanya menggunakan rukyat (pengamatan) saja, dan adapula yang mengabungkan hisab dan rukyat.

    Selama ini Muhammadiyah menggunakan Hisab dengan metode Wujudul Hilal yang berarti berapapun derajatnya, apabila hilal sudah berumur, telah wujud, maka dipastikan esoknya merupakan awal bulan. Sedangkan pemerintah menggunakan Imkanu Rukyat dengan mensyaratkan dua derajat. Rukyat akan susah dilaksanakan jika ketinggian hilal masih dibawah 5 derajat, padahal posisi hilal pada waktu 1 syawal menurut versi Muhammadiyah, masih di posisi 1 derajat. Sedangkan ahli astronomi masih menyangsikan kemampuan manusia dalam melihat hilal di posisi kurang dari 5 dera, rekor melihat hilal sampai saat ini ada di angka 5 derajat.

    Sedangkan asal perintah penetapan puasa dan hari i'ed dalam islam adalah rukyatul hilal

    "Janganlah kamu berpuasa hingga kamu melihat hilal dan jangan pula berbuka hingga kamu melihatnya. Jika cuaca mendung (sehingga kamu tidak dapat melihatnya) maka hendaklah kamu mentaqdirkannya. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibn 'Umar)"

    Dari hadist tersebut, jelas perintah untuk menentukan awal puasa dan hari i'ed adalah rukyatul hilal. Jika hilal tidak nampak, bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Sebagaimana hadits dalam Shahih Bukhari, dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    "“(Jika hilal tidak tampak), genapkanlah bulan sya’ban menjadi 30 hari”

    Adapun hisab, belakangan dilakukan ulama tabi’in seperti Mutharrif bin Abdillah yang mempergunakan hisab falakiyah untuk menetapkan awal bulan puasa. Al-Hithabi dari kalangan ulama Malikiah di dalam kitab Mawahibul Jalil (juz 2: 288) berpendapat: “La ba’asa bil i’timadi ‘ala qaulil Munjamin” (tidak ada halangan berpegang kepada pendapat ahli hisab), demikian pula pendapat al-Allamah Ibnu ‘Abidin dalam kitab Rasailnya. Sementara itu Abu Abbas Ibnu Suraij dari kalangan fukaha’ Syafi’iyah berpendapat boleh menggunakan hisab untuk mengetahui awal bulan puasa dan berhari raya, begitu pula al-Qadli Abu Thaib.

    Selain itu, dalil rukyat merupakan dalil berdasarkan illat, yang maksudnya bahwa Rasul melakukan rukyat karena saat itu ummat islam belum mempunyai kemampuan dalam perhitungan. Ilat perintah rukyat ini disebutkan terpisah dalam hadis lain, walaupun keduanya masih sama-sama dalam kitab puasa. Hadis yang menerangkan ilat perintah rukyat itu adalah sabda Rasulullah saw,
    “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiyah, tidak (bisa) menulis dan tidak (bisa) menghitung, hilaal adalah begini dan begini” [riwayat jamaah ahli hadis].

    Menurut ulama-ulama besar seperti Syeikh Muhammad Rasyid Rida perintah rukyat (melihat hilal) itu adalah perintah berilat dan ilatnya adalah karena umat pada umumnya di zaman Nabi saw adalah ummi, yakni belum mengenal tulis baca dan belum bisa melakukan perhitungan hisab.

    Hadits diatas sangat pokok dalam masalah hisab, karena seakan-akan Rasulullah mengatakan bahwa berpegang kepada rukyat mata telanjang itu lantaran kebanyakan umat Islam di masa beliau buta aksara, belum mengenal ilmu hisab. Bahkan Al-Asqallani dalam kitab monumentalnya Fathulbari menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perkataan “La naktubu wala Nahsubu (tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung)” adalah kebanyakan penganut Islam dan dimaksud dengan perkataan “hisab” di sini perhitungan bintang (hisab) dan digantungkan hukum puasa dengan “rukyah” semata-mata untuk menghilangkan kesulitan (raful haraj), Fathulbari (juz 4: 127)

    Di Indonesia sekurangnya ada dua aliran yang berkembang, yaitu hisab berdasarkan wujudul hilal dan hisab berdasarkan imkanur rukyat. Hisab berdasarkan wujudul hilal pada prinsipnya menetapkan masuk awal bulan baru jika hilal telah terbentuk (setelah ijtimak) dan saat itu masih berada di atas ufuk saat matahari terbenam. Aliran ini tidak mempermasalahkan apakah hilal tersebut bisa diamati atau tidak.

    Pada hisab berdasarkan imkanur rukyat, masuknya awal bulan baru ditetapkan jika pada saat matahari terbenam, hilal masih berada di atas ufuk dan telah memenuhi kriteria bisa diamati. Departemen Agama mengambil kriteria tinggi minimum hilal bisa diamati adalah 2 derajat.

    22 Agustus jam 20:38 · 

  • Asep Santo Kang Wawan Gunawan Abdul Wahid,masalahnya bukan cermat atau tdk cermat dalam membaca hadits,namun terletak pada perbedaan frinship yg saat ini belum bisa dipertemukan.beda itu wajar saja asal berdasarkan keilmuan.tgl 31 sepertinya menarik untuk dilaksanakan he..he..
    22 Agustus jam 20:43 · 

  • Wawan Gunawan Abdul Wahid ‎1 SYAWAL 1432=30 AGUSTUS 2011
    Salam,
    1. kata ru'yat berasal dari kata ra-a yaraa ru'yatan yang dalam bahasa Arab tidak selalu diartikan melihat secara fisik (ar-r'yatu bil'ayni) tapi juga dimaknai sebagai "aru'yatu bilqalbi" melihat dengan fikiran. Pengartian ini diutarakan oleh Abul Fadlal Jamaludin bin Mukrim yang dikenal dengan ibnul Manzhur dalam kitab kamus bahasa arab yang otoritatif Lisan al-'Arab Jilid XV halaman 291. Bahkan jika merujuk pada kosa kata al-Quran untuk kata ini al-Quran menginformasikan bhwa lebih dari 74,% digunakan untuk makna yang kedua dan sisanya (hanya 24%) untuk makna yang pertama;
    2. Dari analisis bahasa demikian maka terlalu gegabah mengatakan bahwa pada saat Nabi bersabda dengan hadisnya "shuumuu liru'yatihi wa afthiruu liru'yatihi" atau laa tashuumu hattaa taraul hilalaa walaa tufthiruu hattaa tarauhu" lalu disimpulkan hawa itu dimaknai sebagai ru'yat secara fisik. Yang adil untuk memaknai hadis itu adalah bahwa untuk melakukan ibadah puasa dan idul fithri harus dipastikan terlebih dahulu terjadinya bulan baru (hilal). Pada masa Nabi alat untuk memastikan terjadinya bulan baru itu dengan menggunakan ru'yat bilfi'li atau ru'yatul 'ayni. Pemknaan demikian persis sebangun dengan pemaknaan hadis "Lau laa an asyuqqa 'alaa ummatii la amat=rtuhum bissiwaaki 'inda kulli shalaatin". Nabi tidak sedang mengatakan bahwa siwak itu satu-satunya tuntunan. Tapi Nabi sedang mengajarkan abwha saat berwudlu itu kaum Muslimin diajarkan untuk bersish mulut dan gigi sedangkan siwak hanyalah alat yang digunakan untuk bersih mulut dan gigi pada masa Nabi. saat ini ummat Islam boleh pakai siwak tapi jangan larang yang laiinya yang pakai odol dan sikat gigi. analog dengan itu, ummat Islam sat ini dipersilahkan untuk pakai ru'yat bil 'ayni tapi jangan larang yang pakai ru'yat bilqalbi atau bilmi yang dipraktekkan melalui penggunaan hisab yang salah satu metodenya adalah WUJUDUL HILAL.

    23 Agustus jam 5:11 melalui  · 

  • Wawan Gunawan Abdul Wahid sALAM,
    iNSYA ALLAH KALI INI LEBIH CEPAT LEBIK BAIK. ITUDIDASARKAN PADA HADIS BAHWA SATU BULAN DALAM DALAM ISLAM ITU TERHITUNG 29 HARI JUGA 30 HARI SEMENTARA NABI SAW SAAT MENUNAIKAN PUASANYA LEBIH BANYAK DIKERJAKAN 29 HARI DARIPADA 30 HARI MAKA TENTU SAJA 29 HARI LEBIH MENARIK DARIPADA 30 HARI.

    23 Agustus jam 5:16 melalui  · 

  • Asep Santo SALAM,''LEBIH TEPAT LEBIH BAIK''pada akhirnya perbedaan adalan keniscayaan karena itulah janganlah berhenti untuk mendiskusikan.AKHIRNYA KITA HARUS BELJAR UNTUK SEPAKAT DALAM KETIDAK SEPAKATAN, WUJUDUL HILAL DAN IMKANU RU'YAT ADALAH METODHE UNTUK KITA MEWUJUDKAN ''AHSANU 'AMALAN''
    23 Agustus jam 7:30 · 

  • Wawan Gunawan Abdul Wahid ‎1 SYAWAL 1432= 30 AGUSTUS 2011= 31 AGUSTUS 2011 ITU SEMESTINYA ANDA MENULISKAN! MASIH INGATKAH DENGAN HUKUM AKSI REAKSI. TULISAN INI SESUNGUHNYA MERESPONS TULISAN ANDA YANG TIBA2 MENYEBUTKAN TANGGAL BULAN DAN TAHUN. JIKA ANDA MENGGUNAKAN KALIMAT NATTAFIQU BI ANLAA NATTAFIQ, SEPAKAT UNTUK TIDAK SEPAKAT SEJATINYA ANDA JANGAN TIBA-TIBA MENULISKAN 1 SYAWAL 1432=31 AGUSTUS 2011. APA YANG ANDA TULISKAN TIDAK SAMA DENGAN APA YANG FIKIRKAN. ITU TANDA HIFOKRASI DAN TENTU SAJA TIDAK AKAN MENGHADIRKAN AHSANU 'AMALA, MAAF. JIKA ANDA TIDAK INGIN DIUTUDUH LAKUKAN HIFOKRASI SILAHKAN TULISKAN SEBAGAIMANA SEHARUSNYA!
    23 Agustus jam 8:34 melalui  · 

  • Asep Santo SAYA YAKIN LEBARAN TANGGAL 31 AGUSTUS DAN ANDA PUN HARUS YAKIN BAHWA LEBARAN TANGGAL 30,DIATAS KEYKINAN SAYA,SAYA PUN HARUS MENGHARGAI KEYAKINAN ANDA,(SAYA FIKIR TAK ADA YG SALAH). MAAF SAYA TIDAK HARUS MEMBUKTIKAN TUDUHAN BAHWA SY HIFOKRIT,(KARENA DALAM LOGIKA HUKUM,YG MENUDUHLAH YG HARUS MEMBUKTIKAN).SALAM
    23 Agustus jam 8:43 · 

  • Asep Tea di running tex tvone pp muhammadiyah menetapkan lebaran tgl 30 Agustus 2011
    23 Agustus jam 11:26 · 

  • Adek Sembiring Inilah indahnya kalau dua ahli mazhab berdialog, luas rasanya ilmu itu ya, walau dari sumber yg satu instistusi aljami'ah Sunan Kalijogo, tetapi semangat mempertahankan disertasi masing2 dengan segala ketawaddu'an yg tetap di jaga membuat hati ini sejuk...BarakaAllah untuk Antum Ajengan berdua, tetap berkarya utk Ummat...Amiiin.
    23 Agustus jam 17:56 · 





     ·  · 

    • Rahmatullah Ade dan Daniel Ahmad menyukai ini.

      • Yudi N. Ihsan Apa dalil atau alasan yang digunakan oleh masing-masing kriteria?
        Minggu pukul 14:30 · 

      • Dadang Syaripudin dalilnya sama, tetapi mengambil dalalahnya yang berbeda.....! Muhammadiyah memandang yang menjadi sebab hukum adalah keberadaan hilal, sementara yang lain "keterlihatan hilal".
        sekitar sejam yang lalu · 

      • Yudi N. Ihsan Konon semua dalil yang ada menunjukan kepada keterlihatan hilal, itu sebabnya hisab yang dilakukan adalah hisab imkanur rukyat (visibiltas rukyat). Hal ini pula yang dipahami oleh para ulama yang ada di Eropa dan Turkey.
        52 menit yang lalu · 

      • Dadang Syaripudin Sebab dalam definisi ushul fiqh adalah Sesuatu yang bilamana ada hukum ada dan jika tidak ada maka secara otomatis hukum pun tidak ada. JIka keterlihatan itu menjadi sebab mengapa harus ada istikmal. pada saat istikmal, mengabaikan keterlihatan. sekalipun tidak terlihat, karena sudah 30 hari mau tidak mau sudah pindah bulan (harus berpuasa atau berbuka). Kalo keterlihatan itu menjadi sebab atau paling tidak syarat, maka sampai kapanpun selama belum terlihat harus terus berpuasa hingga pada suatu waktu terlihat......!
        Dengan adanya istikmal, menunjukkan bahwa yang menjadi sebab sesungguhnya adalah wujud-ul hilal bukan rukyatul hilal. Jika sudah 30 hari dipastikan/diyaqini se yakin-yakinnya hilal sudah ada, sekalipun tidak terlihat.....

        41 menit yang lalu · 

      • Yudi N. Ihsan Dalam ilmu hisab sudah dipastikan jika setalah 30 hari hilal akan diatas 4 derajat, sehingga pada hari ke 30 hilal pasti terlihat walaupun tidak dilakukan rukyat lagi karena berbagai alasan.
        34 menit yang lalu · 

      • Dadang Syaripudin ya itu dia, berarti yang menjadi "sebab hukum" bukan "keterlihatan" tetapi "keberadaan".................!
        31 menit yang lalu · 

      • Yudi N. Ihsan Dipahaminya keberadaan hilal yang memungkinkan untuk dilihat (moon visibility), sehingga 4 derajat dianggap sebagai syarat awal bulan dalam ilmu hisab, seperti yg saya pahami dari perhitungan berikut:
        10 menit yang lalu · 

      • Yudi N. Ihsan http://www.moonsighting.com/vis-maps.html
        10 menit yang lalu · 

         ·  · 

          • Hedin Purnama Syukron Ahmad Imam Mujadid Rais.
            23 Agustus jam 13:54 · 

          • Aminuddin Karwita Secara sederhana perbedaan itu disebabkan perbedaan metodologi dan kriteria awal bulan yang dipakai. Ada dua metodologi umum yang dipakai untuk penetapan awal bulan. Pertama dengan metodologi hisab dan kedua dengan metodologi ru'yat. Bagi penganut ru'yat mereka berargumen bahwa ru'yat bukan semata metoda tetapi syarat yang harus dilakukan untuk sahnya diawali puasa, syawwal maupun dzulhijjah. Sementara bagi penganut hisab, ru'yat maupun hisab hanyalah alat atau metoda untuk memastikan keberadaan hilal awal bulan. Mana yang diyakini lebih pasti itu yang harus diikuti. Banyak kalangan berusaha menjembatani kedua perbedaan tersebut terutama dari kalangan pemerhati dan praktisi di bidang hisab dan ru'yat ini. Para ilmuwan berusaha mempertemukan keduanya melalui konsep imkanurru'yah, namun demikian konsep ini tidak mudah diterima semua kalangan. Muhammadiyah menggunakan prinsip wujudul hilal untuk menetapkan awal bulan dengan ketentuan sebagai berikut (1) ijtima' qablal ghurub dan (2) hilal secara hisab di atas ufuk saat matahari terbenam walaupun tidak memungkinkan dilihat.
            23 Agustus jam 13:55 ·  ·  1 orang

          • Hedin Purnama Jadi nash-nash yang memperkuat hisab itu apa kang Aminuddin Karwita? khususnya yg berkaitan dengan 1 syawal bukan dgn waktu sholat. Syukron.
            23 Agustus jam 13:59 · 

          • Aminuddin Karwita Berbicara mengenai ru'yat sebagai suatu dalil yang bisa digunakan untuk penetapan waktu-waktu ibadah boleh dikatakan semua orang muslim memahaminya dalam tataran konsep.Walaupun dalam tataran praktis penggunaan hisab bukanlah hal yang baru, apalagi untuk penetapan waktu-waktu shalat. Hampir bisa dikatakan bahwa kita tidak bisa lepas dari yang namanya hisab. Hal ini bisa dibuktikan dari hampir selalu adanya jadwal waktu-waktu shalat di masjid-masjid maupun mushalla-mushalla yang kita jumpai. Demikian pula halnya dengan keberadaan kalender hijriyah yang secara praktis merupakan produk hisab, masih bisa diterima di seluruh lapisan muslim. Sedikit berbeda ketika berhubungan dengan penetapan awal dan akhir Ramadhan dan awal Dzulhijjah, perbedaan mengemuka di kalangan ummat dengan kepentingannya dan argumentasinya sendiri-sendiri. Secara garis besar terdapat tiga faham yang berbeda dalam penetapan penanggalan Islam:
            1.Hanya menggunakan ru'yat khususnya untuk bulan-bulan 'ibadah.

            2. Menggunakan ru'yah, dan hisab digunakan untuk validasi kebenaran kesaksian ru'yat

            3. Hisab dapat digunakan secara mandiri untuk penetapan penanggalan dan waktu-waktu 'ibadah lainnya.

            Kelompok-kelompok yang ada tersebut tidak ada yang menolak mengenai sahnya penetapan penanggalan dengan ru'yat, hanya saja bagi yang bermadzhab hisab, hisab memiliki lebih banyak aspek mashlahatnya karena lebih memberikan kepastian mengenai posisi hilal yang menjadi dasar penetapan penanggalan Islam. Sementara bagi penganut ru'yat, ru'yat hilal merupakan aspek ta'abbudi yang harus diikuti untuk mengawali dan mengakhiri bulan-bulan 'ibadah.

            Namun bila dinyatakan bahwa hisablah sebenarnya yang dianjurkan Islam untuk penetapan waktu-waktu 'ibadah mungkin banyak orang yang mempertanyakannya termasuk mungkin bagi mereka yang menggunakan hisab.

            Hisab sesuai Sunnatullah

            Ilmu hisab falak adalah ilmu yang diajarkan Allah kepada hamba-Nya secara langsung, sekaligus sebagai bukti al-Qur'an kalam Allah bukan buatan Muhammad seorang yang ummi sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang-orang kafir, sekaligus sebagai bukti kebenaran berita al-Qur'an yang merupakan mu'jizat sepanjang zaman. Dalil-dalil ini di antaranya:

            الرحمن علم القرءان خلق الإنسان علمه البيان الشمس والقمر بحسبان (الرحمن:1-5)

            (Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan Al Qur'an. Dia menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.

            هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب ما خلق الله ذلك إلا بالحق يفصل الآيات لقوم يعلمون(يونس:5)

            Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui

            Pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa ilmu hisab bukan sebagai ilmu Islam justru bertentangan dengan banyak dalil dari al-Qur'an, dan jelas suatu pendustaan terhadap firman Allah.

            Pandangan sebagian ulama terdahulu yang menentang hisab terutama muncul dari kalangan mereka yang kurang memahami Ilmu ini dan mengabaikan firman-firman Allah dalam al-Qur'an mengenai hisab dan ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian diikuti fara muqallidin dari kalangan ulama khalaf yang mengikuti pendahulunya dengan menisbahkannya sebagai sunnah. Inilah yeng menjadi akar timbulnya pertentangan di kalangan ummat karena mereka telah meninggalkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.

            Sikap penolakan terhadap ilmu hisab khususnya untuk penetapan bulan-bulan 'ibadah terutama dilatarbelakangi oleh:

            Ketidak-fahaman sebagian ulama (bukan ahli hisab) tentang hakikat ilmu hisab dan menganggapnya sebagai ilmu meramal yang tidak bisa mencapai derajat yakin.
            Adanya anggapan bahwa ilmu hisab sebagai bagian dari ilmu peramalan nasib dengan bintang yang ditentang Islam, sehingga haram menggunakannya.
            Ketidak-fahaman para penentang hisab yang menganggap hisab sama-sekali lepas dari ru'yat dan menyalahi sabda-sabda Rasulullah tentang penetapan penanggalan Islam terutama bulan-bulan 'ibadah.

            Alasan-alasan di atas dengan jelas ditentang oleh Allah seperti dalam dalil-dalil tersebut di atas, yang menyatakan bahwa sifat 'bi-husbaan' merupakan sunnatullah yang sama sekali berbeda dengan ilmu meramal nasib oleh para ahli nujum (astrologi), bahkan mendalami astronomi sangat dianjurkan oleh Allah Ta'ala.

            Penolakan terhadap ketetapan Allah ini jelas-jelas merupakan kekufuran terhadap ayat-ayat Allah yang tidak mungkin dilakukan oleh generasi awal ummat ini, dengan demikian terbantahlah anggapan bahwa telah adanya ijma' dari generasi awal ummat bahwa mereka menolak hisab. Yang benar adalah mereka belum menguasai ilmu hisab falak sehingga mereka tidak sepenuhnya menggunakannya, sebagaimana yang akan kita bahas berikut ini.

            Anggapan bahwa ilmu hisab sebagai bagian dari ilmu peramalan nasib dengan bintang yang ditentang Islam, sehingga haram menggunakannya sama sekali tidak bisa dipertanggung-jawabkan dan bertentangan dengan firman Allah bahwa itu merupakan ketetapan-Nya yang haq (sunatullah) dan sama sekali tidak sama dengan ilmu ramalan bintang. Pendapat ini muncul dari kebodohan orang tentang ilmu ini dan enggan untuk mentafakuri ayat-ayat Allah tentang alam semesta, sebagaimana tersebut dalam firman Allah

            إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب(190)الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار (أل عمران: 191)

            "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."

            Anggapan bahwa hisab sama-sekali lepas dari ru'yat dan menyalahi sabda-sabda Rasulullah tentang penetapan penanggalan Islam jelas suatu pendapat yang sangat keliru, karena ilmu hisab falak ini lahir dari serangkaian penelitian data-data ru'yat yang dilakukan selama periode yang panjang bahkan dari generasi ke generasi, serta melalui tahap ujicoba dan analisis yang cermat sehingga ditemukan formulasi hisab, yang akurat dan teruji dengan baik.

            Al-Qur'an menekankan Hisab untuk Penentuan Penanggalan

            Landasan penanggalan kalender Islam (kalender hijriyyah) ditetapkan langsung oleh Allah dalam al-Qur'an dalam beberapa ayat yang terpisah-pisah.

            إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا في كتاب الله يوم خلق السموات والأرض منها أربعة حرم ذلك الدين القيم فلا تظلموا فيهن أنفسكم وقاتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة واعلموا أن الله مع المتقين (التوبة:36)

            Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

            Berdarakan ayat di atas, Allah Ta’ala mengajarkan kepada kita bagaimana kalender Islam seharusnya dibangun yang berbeda dengan kalender luni-solar yang sebelumnya digunakan oleh Arab pra Islam. Kalender Arab pra-Islam adalah kalender qamariyah yang disesuaikan dengan periode pergantian musim tahunan, sehingga setelah periode tertentu, satu tahun ada penambahan satu bulan untuk menyesuaikan dengan musim tahunan. Bulan tersebut dikenal dengan bulan Nasi. Dan oleh Islam kebiasaan tersebut dibatalkan. Selanjutnya Allah berfirman:

            إِنَّمَا النَّسِيءُ زِيَادَةٌ فِي الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِينَ كَفَرُوا يُحِلُّونَهُ عَامًا وَيُحَرِّمُونَهُ عَامًا لِيُوَاطِئُوا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فَيُحِلُّوا مَا حَرَّمَ اللَّهُ زُيِّنَ لَهُمْ سُوءُ أَعْمَالِهِمْ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ(التوبة:37)

            Sesungguhnya an-nasi’ (mengundur-undurkan bulan haram) itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.

            Allah juga menegaskan bahwa wujud hilal-lah yang menjadi batas-batas berawal dan berakhirnya suatu bulan, yaitu hilal yang dapat disaksikan di akhir setiap bulan. Dan oleh karena pergantian hari kalender Islam adalah maghrib maka hilal tersebut adalah hilal yang muncul bersamaan dengan terbenamnya Matahari. Allah berfirman:

            يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج (البقرة:189)

            Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji

            Allah menjelaskan suatu fenomena sekaligus mengajarkan bahwa Matahari dan bulan beredar mengikuti perhitungan.

            الرحمن علم القرءان خلق الإنسان علمه البيان الشمس والقمر بحسبان (الرحمن:1-5)

            (Tuhan) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al-Qur'an, Yang telah menciptakan manusia, Yang mengajarinya ilmu pengetahuan. Matahari dan bulan beredar mengikuti perhitungan.

            Bahkan Allah menjelaskan bahwa sebagai akibat dari peredaran tersebut, fase-fase bulan terbentuk dan membentuk siklus bulanan. Allah berfirman:

            وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ(يس: 39)

            Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.

            Fase dari hilal pertama ke hilal berikutnya dari satu siklus itulah yang dinamakan satu bulan. Allah Ta’ala menjelaskan bahwa terbentuknya fase-fase tadi merupakan suatu ketetapan Allah yang semuanya bisa diukur, bisa dihitung dan dengannyalah Allah mengajarkan ilmu bagaimana menghitung tahun dan menghisabnya kepada kita.

            هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب ما خلق الله ذلك إلا بالحق يفصل الآيات لقوم يعلمون إن في اختلاف الليل والنهار وما خلق الله في السموات والأرض لآيات لقوم يتقون(يونس:5-6)

            Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa.

            Allah menjelaskan dengan itu bukti-bukti kebenaran firmanNya, bahwa al-Qur'an adalah kalamullah mustahil dibuat oleh Muhammad saw seorang yang ummi melainkan semata-mata wahyu Allah yang diterimanya dan disampaikannya kepada ummatnya apa adanya.

            Bukti-bukti ini memang pada masa-masa awal Islam belum bisa dipahami sepenuhnya oleh kaum muslimin karena kebanyakan dari mereka adalah kaum yang ummi, namun al-Qur'an adalah mu’jizat sepanjang zaman yang akan membatalkan setiap tuduhan siapapun yang mengatakan al-Qur'an buatan Muhammad. Dan bukti-bukti ini telah terbukti bagi kita sekarang. Lalu apakah kita masih akan ragu dengan kebenaran al-Qur'an? Inilah mungkin rahasia yang terungkap dari turunnya ayat al-Qur'an surat Ali Imran 190-191.

            إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب(190)الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار (أل عمران:191)

            "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka."

            Dalam suatu riwayat dijelaskan setelah turun ayat ini Rasulullah terus menerus menangis sepanjang malam bahkan ketika Rasulullah melaksanakan shalat malam, hingga ketika waktu shubuh datang dan Rasulullah belum hadir Bilal mengunjunginya dan menanyakannya apa gerangan yang membuat seorang Rasul yang ma’shum menangis. Rasulullah menjawab turunnya ayat inilah yang membuatnya menangis. Lantas beliau mengatakan celakalah orang yang membacanya tapi tidak mau mentafakurinya.

            Rasulullah Mengajarkan Prinsip-prinsip Dasar Hisab

            Penggunaan hisab ini sebagai dalil penentuan penanggalan qamariyah maupun waktu-waktu ibadah lainnya ditetapkan dan dijamin oleh Allah, namun kaum muslimin saat itu bukanlah orang-orang yang bisa menghisab bulan. Pengetahuan ilmu hisab belum berkembang saat itu dikalangan kaum muslimin. Perhitungan yang dikenal dan dikuasai umumnya sebatas perhitungan-perhitungan sederhana yang biasa digunakan dalam transaksi jual-beli, takar-menakar, dan sebagainya. Untuk menentukan waktu harian mereka biasa melihat posisi Matahari; dan untuk menentukan penanggalan, mereka melihat posisi dan fase bulan. Praktek ru’yat ini merupakan praktek yang sudah terbiasa dikalangan bangsa Arab pra Islam, tidak ada yang asing dalam hal bagaimana meru’yat hilal, dan memahami perubahan fase-fase bulan. Mereka bisa secara langsung memprediksi tanggal berapa hanya dari melihat posisi dan fase bulan yang muncul.

            Rasulullah menyampaikan sesuatu yang baru dalam menetapkan penanggalan dalam Islam sesuai ketentuan Allah. Beliau mengoreksi sistem penanggalan era pra-Islam yang mengenal adanya bulan ke-13 pada tahun-tahun tertentu dan menetapkan hanya ada 12 bulan dalam satu tahun sebagaimana telah dijelaskan di muka. Beliau juga menjelaskan dan memperkenalkan hisab secara sederhana dan bertahap tanpa secara langsung meninggalkan ru’yat. Apa yang dijelaskan Rasulullah adalah membimbing kaum muslimin bagaimana memahami hisab secara sederhana dengan menekankan pada kaidah-kaidah dasar yang harus dipenuhi, yang bisa dijadikan rujukan baik bagi kalangan awam maupun para ulama Islam berikutnya.

            Berikut ini di antara dalil-dalil yang menceritakan panduan-panduan yang diajarkan Rasulullah untuk menghisab bulan.

            وحدثني زهير بن حرب حدثنا إسماعيل عن أيوب عن نافع عن بن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم إنما الشهر تسع وعشرون فلا تصوموا حتى تروه ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له ( مسلم )

            وحدثني حميد بن مسعدة الباهلي حدثنا بشر بن المفضل حدثنا سلمة وهو بن علقمة عن نافع عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم الشهر تسع وعشرون فإذا رأيتم الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا فإن غم عليكم فاقدروا له ( مسلم )

            Dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ra, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: “Sesungguhnya satu bulan itu 29 (hari), maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihatnya dan janganlah kamu berbuka sehingga melihatnya, maka jika terhalang atasmu maka perkirakanlah ia. (Muslim)

            حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا أبو أسامة حدثنا عبيد الله عن نافع عن بن عمر رضي الله عنهما ثم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان فضرب بيديه فقال الشهر هكذا وهكذا وهكذا ثم عقد إبهامه في الثالثة فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن أغمي عليكم فاقدروا له ثلاثين

            وحدثنا بن نمير حدثنا أبي حدثنا عبيد الله ثم بهذا الإسناد وقال فإن غم عليكم فاقدروا ثلاثين نحو حديث أبي أسامة ( مسلم )

            وحدثنا عبيد الله بن سعيد حدثنا يحيى بن سعيد عن عبيد الله بهذا الإسناد وقال ثم ذكر رسول الله صلى الله عليه وسلم رمضان فقال الشهر تسع وعشرون الشهر هكذا وهكذا وهكذا وقال فاقدروا له ولم يقل ثلاثين ( مسلم )

            Dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ra, ia berkata, kemudian Rasulullah saw menyebut Ramadhan memberi isyarat dengan kedua tangannya kemudian bersabda: “Satu bulan itu begini, begini dan begini kemudian nabi melipat jempolnya pada yang ketiga, maka berpuasalah kamu karena melihatnya dan berbukalah kamu karena melihatnya, maka jika terhalang atasmu maka perkirakanlah 30. Di riwayat lain dari Ubaidillah dengan isnad ini kemudian Rasulullah saw menyebut Ramadhan kemudian beliau bersabda: “Satu bulan itu 29, satu bulan itu begini, begini dan begini dan berkata maka perkirakanlah baginya, dan beliau tidak menyebut 30. (Muslim)

            وحدثني عن مالك عن عبد الله بن دينار عن عبد الله بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ثم الشهر تسعة وعشرون فلا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدروا له ( مالك )

            Dari Ibn Dinar dari Abdullah bin ‘Umar ra, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: “Kemudian satu bulan itu 29 (hari), maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal dan janganlah kamu berbuka sehingga melihatnya, maka jika terhalang atasmu maka perkirakanlah ia. (Malik)

            Hadits-hadits tersebut mengajarkan bagaimana prinsip-prinsip hisab dibangun, sekaligus Rasulullah menjelaskan mengenai apa yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an:

            Dasar lamanya satu bulan adalah 29 hari.

            Dalam banyak hadits yang shahih Rasulullah mengatakan bahwa satu bulan adalah 29 hari (malam). Pengenalan ilmu hisab pertama dari Rasulullah. Bahwa satu bulan cukup menghitung 29 hari dari saat pertama terlihatnya hilal tanpa harus mengamati perubahan fase bulan dari hari-ke hari. Hilal baru tidak mungkin muncul di hari-hari kurang dari itu. Dan ini merupakan batas minimal satu bulan yang diajarkan Rasulullah, selanjutnya:

            Yakinkan wujudnya hilal pada akhir hari ke-29 (saat ghurub), jika hilal diyakini ada maka tetapkanlah lama bulan 29 hari.
            Jika wujud hilal pada saat itu dipastikan tidak ada maka tetapkanlah hitungan bulan 30 hari.

            Kaidah ini merupakan kaidah hisab praktis yang dapat dengan mudah diterima oleh kaum muslimin, karena sesuai dengan realita. Jika pada akhir tanggal 29 hilal dipastikan tidak wujud, maka dapat dipastikan bahwa keesokan harinya sudah jauh di atas ufuk, walaupun mendung menghalangi pandangan. Dengan demikian tidak diperlukan lagi adanya ru'yat, cukup hisablah bulan 30. Dan tentunya kesimpulan ini didukung oleh bukti-bukti ru'yat yang cukup panjang.

            Meyakinkan wujudnya hilal dengan hisab bukanlah hal yang sulit, namun dalam kondisi awal-awal Islam kaum muslimin boleh dikata belum menguasai ilmu hisab, kemampuan ilmu hisab hanya terbatas penjumlahan dan pengurangan sederhana yang sering dipakai dalam transaksi jual beli atau takar menakar. Bahkan alat ukur waktu seperti yang ada sekarang belum pernah diberitakan ada semua dibaca dari tanda-tanda alamiah alam, sehingga diperlukan suatu kaidah transisi, yang diajarkan Rasulullah yang kemudian diceritakan dan atau disampaikan para sahabat apa adanya atau sesuai pemahaman mereka.

            Jika pada akhir hari ke-29 (saat ghurub) hilal tidak terlihat (tidak wujud) karena terhalang, maka yakinkanlah akan wujudnya hilal, dan tetapkan hitungan 30 hari saat wujud hilal tidak bisa dibuktikan (tidak ada berita kesaksian hilal).

            Pernyataan ini menolak anggapan bahwa penghalang menjadi illat hukum ikmal jumlah hari menjadi 30, karena illat hukumnya sendiri adalah wujud hilal (diyakini wujudnya hilal). Dan ini sesuai kaidah ushul:

            الحكم يدور مع علته وجودا و عدما

            “Hukum berjalan sesuai ‘illatnya ada dan tiada.”

            Wujud hilal itulah yeng menjadi illat hukum ditetapkannya tanggal baru, bukan mendung sebagaimana difahami sebagian orang. Kaidah ikmal menjadi tiga puluh hari saat mana hilal diyakini belum wujud pada akhir tanggal 29 adalah sejalan dengan kaidah ushul ini, karena bila pada tanggal 29 hilal tidak wujud naka dapat dipastikan bahwa hilal wujud pada tanggal 30 walaupun pandangan kita terhalang untuk melihatnya. Argumentasi bahwa wujud hilal sebagai illat hukum ditetapkan awal bulan sesuai dengan firman Allah Ta'ala:

            يسألونك عن الأهلة قل هي مواقيت للناس والحج (البقرة:189)

            Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji

            Dan ini secara praktis diakui oleh kaum muslimin bahwa terhalangnya pandangan dari segolongan besar muslim akan melihat hilal gugur manakala ada kesaksian walaupun sebagian kecil tentang adanya hilal. Dengan demikian sesungguhnya yang menjadi ijma' di kalangan shahabat adalah wujud hilal sebagai dalil ditetapkannya awal bulan, dan bukan melihatnya itu sendiri. Dan ini sesuai dengan firman Allah di atas. Dari uraian ini maka akan jelaslah makna firman Allah Ta'ala:

            فمن شهد منكم الشهر فليصمه

            "Maka barang siapa di antara kami menjadi syahid (datangnya) bulan maka hendaklah ia berpuasa."

            Makna syahid berdasarkan banyak dalil lebih mengarah kepada pengetahuan dan keyakinan dan bukan kepada kesaksian dengan mata. Dan keyakinan datangnya bulan bisa diketahui dengan melihat langsung, dengan kesaksian orang lain atau dengan hisab sebagaimana yang difirmankan Allah dalam al-Qur'an. Coba perhatikan bagaimana Rasulullah menuntun para sahabatnya yang ummi untuk bisa menghisab dengan mengajarkan bahwasanya satu bulan 29 hari tanpa harus mengamati perubahan fase bulan dari hari ke hari, kemudian apa yang kemudian difahami para sahabat tentang menghisab atau menetapkan hitungan 30 saat sama sekali hilal tidak bisa disaksikan mata pada akhir tanggal 29.

            Dan dengan penggunaan hisab prediksi wujudnya hilal lebih bisa dipastikan daripada dengan ru’yat dan inilah yang disinyalir dalam al-Qur’an:

            هو الذي جعل الشمس ضياء والقمر نورا وقدره منازل لتعلموا عدد السنين والحساب ما خلق الله ذلك إلا بالحق يفصل الآيات لقوم يعلمون

            Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

            Berdasarkan ayat ini Allah memberitakan bahwa Dia telah menetapkan fase-fase bulan dan memungkinkan untuk menghisabnya. Sehingga fase-fase hilal tersebut sebenarnya bisa dihitung untuk menetapkan apakah hilal sudah ada atau belum. Ayat inipun memberi indikasi bahwa ilmu hisab tidaklah lahir dengan sendirinya tetapi melalui proses yakni proses ru'yat dan pencatatan data-data ru'yat yang Selanjutnya dianalisis, diuji dan diformulasikan sehingga dihasilkan formulasi hisab seperti yang ada sekarang. Namun kaum muslimin saat itu adalah kaum tidak menguasai ilmu hisab, sehingga untuk meyakinkan hadirnya hilal dimintailah kesaksian orang-orang dari daerah-daerah sekitar tentang tampaknya hilal pertama tadi. Di satu daerah bisa jadi berkabut, mendung atau karena halangan-halangan lainnya sehingga hilal tidak bisa disaksikan, namun di daerah-daerah lainnya yang berdekatan bisa jadi hilal bisa dilihat. Dan kesaksian inilah yang diakui. Ini menggambarkan bahwa begitu ada halangan melihat hilal tidak serta merta satu bulan dihitung menjadi 30, tapi menunggu kepastian ada tidaknya hilal dari hasil penglihatan orang-orang lainnya. Hal inilah bisa jadi rahasia mengapa Allah menekankan hisab, karena kemampuan melihat seseorang bisa terhalang oleh berbagai hal seperti lokasi, mendung, debu dan sebagainya.

            Berkaitan ini saya nukilkan beberapa riwayat yang menggambarkan fenomena ini:

            Dari Ibnu Umar Radiyallahu 'anhu, ia berkata : “Manusia mencari-cari hilal, maka aku kabarkan kepada Nabi bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam pun menyuruh manusia berpuasa.” (HR Abu Daud (2342), Ad Darimi (2/4), Ibnu Hibban (871), Al Hakim (1/423), Al Baihaqi (4/212), dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahhya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At Talkhisul Habir (2/187)[i].

            Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103) Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105)[ii]

            1993 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارِ بْنِ الرَّيَّانِ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ يَعْنِي ابْنَ أَبِي ثَوْرٍ ح و حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ يَعْنِي الْجُعْفِيَّ عَنْ زَائِدَةَ الْمَعْنَى عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ الْحَسَنُ فِي حَدِيثِهِ يَعْنِي رَمَضَانَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ فَلْيَصُومُوا غَدًا *(أبو داود)

            Fenomena di atas menjelaskan bahwa kepastian hilal yang dilakukan melaui ru’yat perlu dikonfirmasi dengan kesaksian-kesaksian yang lainnya untuk mendapatkan informasi yang meyakinkan tentang wujudnya hilal. Sehingga untuk kasus ini berlaku kaidah bahwa yang melihat secara langsung setelah diketahui kejujurannya didahulukan dari yang tidak bisa melihat, bahkan informasi yang tertunda tetap diterima walau hari sudah berjalan.

            Dengan demikian jelaslah sebenarnya hisablah yang ditekankan dalam Islam dan diajarkan Rasulullah. Rasulullah telah mengajarkan prinsip-prinsip dasar hisab kepada kaum muslimin saat itu sebagai bahan rujukan bagi generasi sesudahnya, sekaligus memandu bagaimana ilmu hisab itu bisa terwujud dengan digalakkannya ru’yat hilal, yang dari data-data yang ada yang dikumpulkan selama waktu yang panjang, para ulama yang terpanggil dengan seruan Allah bisa mempelajarinya, merumuskannya, lantas mengujinya dan menuangkannya menjadi suatu ilmu yang bermanfaat yaitu ilmu hisab (falak).

            Ayat-ayat al-Qur'an ini tidak hanya memandu orang beriman, bahkan juga telah memberi inspirasi dan mendorong orang-orang kafir mempelajari ilmu pengetahuan tentang jagat raya dan mengungkap rahasia-rahasia kebesaran Allah lainnya di alam semesta ini sehingga mereka bisa mencapai pengetahuan dan teknologi seperti yang terjadi sekarang ini.

            Dan inilah salah satu hujjah atas orang-orang kafir yang membantah kebenaran al-Qur'an sebagai kalamullah. Namun adakah mereka masih meragukannya, setelah bukti-demi bukti kebenaran al-Qur'an dibukakan dihadapan mereka?

            Lalu bagaimana mungkin ada segolongan yang mengatakan beriman dan mau tunduk kepada al-Qur'an dan as-Sunnah justru mengatakan ilmu ini sebagai bagian dari ajaran paganisme? Kalau memang demikian keimanan kepada siapakah yang dianut ketika ungkapan penolakan ini dilontarkan. Ingatlah saudara-saudaraku dan segeralah kalian bertaubat kepada Allah agar kalian diampuni-Nya.

            أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ(الجاثية: 23)

            Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

            23 Agustus jam 14:26 ·  ·  1 orang

          • Aminuddin Karwita Tulisan di atas saya kopikan dari tulisan saya di blog http://amin-albarqy.blogspot.com/2007/07/rasulullah-saw-mengajarkan-ilmu-hisab.html

            amin-albarqy.blogspot.com
            Selamat datang di Syarikah-Amana, tempat anda berkolaborasi untuk untuk membawa dunia lebih bermakna dan keluar dari berbagai kemelut. Kami bersama anda akan menyongsong kesuksesan dan kebahagiaan bersama Islam

            23 Agustus jam 14:27 · 

          • Yudi N. Ihsan Penjelasannya cukup menarik mas Amin. Saya masih ada sedikit pertanyaan, bahwa di kalangan ulama ahli hisab pun masih terdapat perbedaan kriteria yang berujung pada perbedaan dalam menyikapi awal atau akhir bulan. Sebetulnya kriteria yang paling baik yang mana jika dihubungkan dengan Rasulullah.
            23 Agustus jam 14:50 · 

          • Hedin Purnama Terima kasih atas penjelasan Kang Aminuddin Karwita, ada ayat dalam S.2:185 yang berbunyi Litukmilull'iddata, apakah ada kaitannya dengan jumlah hari puasa dlm sebulan? karena bunyi pada ayat tersebut sblmnya sudah jelas menerangkan qodo shaum. Jadi apa makna Litukmilull'iddata itu?
            23 Agustus jam 15:20 · 

          • Asep Hilman Yahya Mungkinkah tulisan Kang Amin di atas belum dibaca oleh profesor yang menulis tentang "kejumudan Muhammadiyah" ???

            http://tdjamaluddin.wordpress.com/2011/08/27/muhammadiyah-terbelenggu-wujudul-hilal-metode-lama-yang-mematikan-tajdid-hisab/


            tdjamaluddin.wordpress.com
            T. Djamaluddin Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, LAPAN Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementeria Agama RI Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utam...

            Minggu pukul 9:53 ·  ·