Selasa, 30 Agustus 2011

KHUTBAH IDUL FITRI 1432 H


MENCERAHKAN PERADABAN UMAT 
DENGAN MEMBINA PRIBADI MUTTAQIN
Disampaikan oleh : Drs. H. Hasan Asy’ari
Dalam khutbah Iedul Fitri 1 Syawwal 1432 H / 30 Agustus 2011 M
Di Lapangan Dadaha Tasikmalaya

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى جَعَلَ اليَوْمَ عِيْدًا لِعِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ وَخَتَمَ بِهِ شَهْرَ رَمَضَانَ الْمُبَارَكَ لِلْمَخْلِصِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الأَمِيْنُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُ بِإِحْسَانٍ اِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَآأَيُّهَا الإِخْوَانُ إِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ, اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ الله بُكْرَةً وَأَصِيْلاً. لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ اِلاَّ اِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ.   



Ma’asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.

Pada hari ini, kaum muslimin merayakan ’Iedul Fitri yang merupakan salah satu perwujudan rasa syukur kepada Allah atas paripurnanya pelaksanaan ibadah shaum ramadlan pada tahun 1432 H. Meskipun ada saudara-saudara kita yang belum merayakannya pada hari ini, marilah kita jadikan hal ini sebagai momentum untuk senantiasa meningkatkan kualitas ukhuwwah Islamiyah kita sesuai dengan ruh solidaritas yang terkandung dalam ibadah shaum. Lebih dari itu, seyogianya kita dapat mengambil hikmah dari perbedaan ini, di mana dengan bertambahnya durasi hari raya ini mudah-mudahan akan bertambah pula kesempatan bagi kaum muslimin untuk mendapatkan rahmat dan karunia Allah.

Satu bulan sudah, kita tunaikan ibadah shaum, kini kita kumandangkan takbir dengan penuh semangat dan kegembiraan pertanda kita bersyukur telah mencapai garis finish dengan selamat. 
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (البقرة : 185)
Mudah-mudahan kegembiraan kita sekarang disertai dengan keberhasilan kita meraih predikat al-muttaqin di mata Allah SWT. Sebuah predikat bagi mereka yang meraih kemenangan di sisi Allah dan akan ditempatkan di Jannatun Na’im. Marilah kita segarkan kembali keyakinan kita bahwa ketaqwaan yang mantap dan rasa gembira dalam menjalankan agama termasuk modal yang harus selalu kita miliki dalam menghadapi perjuangan hidup selaku hamba Allah dan selaku kholifah fil Ardl.

Ma’asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Di era informasi dan globalisasi ini, betapa derasnya arus beraneka ragam informasi yang mengalir ke tengah-tengah kehidupan kita, dengan tanpa batas dan sulit untuk dibendung. Ini semua sebagai akibat dari kemajuan teknologi komunikasi yang kian hari kian canggih di satu sisi. Sementara di sisi lain, nilai-nilai moral atau akhlak semakin longgar, batas-batas antara halal dan haram serta baik dan jahat menjadi kabur, ditambah lagi dengan semakin tumpulnya rasa kemanusiaan.
Kemajuan dalam bidang IPTEK yang luar biasa pesatnya, selalu saja dibarengi dengan berbagai dampak buruk di samping manfaatnya. Kita bisa melihat di antaranya, telah timbul perubahan-perubahan pola pikir yang cenderung berorientasi pada nilai guna atau demi kepentingan materi semata, serta berorientasi pada pemenuhan kesenangan duniawi belaka. Fenomena tersebut disadari atau tanpa disadari telah mereduksi naluri-naluri alami keberadaban manusia. Dan lebih jauh lagi akan menyeret manusia ke dalam proses sekularisasi kehidupan yang menyebabkan manusia kehilangan keseimbangan hidup karena tercerabut dari fitrah religiusitasnya. 

Naudzu billahi min dzalik!!.

Fenomena kehidupan yang digambarkan di atas, tentunya tidak bisa kita pungkiri dan memang telah menghadang di depan kita sebagai konsekuensi logis dari era globalisasi, bahkan semakin hari semakin dahsyat menyerang dan merasuk ke rumah-rumah kaum muslimin lewat tayangan layar kaca. Inilah ujian bagi keimanan dan ketaqwaan kita, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 2 :
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia mengira akan dibiarkan begitu saja dengan hanya mengatakan ‘kami telah beriman’, sementara mereka tidak diuji”

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Kabiro.
Jiwa ketaqwaan yang seyogianya kita raih dengan menunaikan ibadah puasa secara ikhlas, insyaallah akan menjadi benteng yang kokoh agar kita tidak tertarik, tidak terpengaruh dan tidak larut dalam fenomena kehidupan yang digambarkan tadi. Marilah kita teguhkan semangat perjuangan kita dengan menyimak firman Allah SWT :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (الروم :30)
Marilah kita tegakkan agama pada diri kita. Karena agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, serta mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.
Dengan berpegang teguh kepada agama Islam, kita memiliki prinsip landasan hidup dan kesadaran imani berupa tauhid kepada Allah SWT yang benar, penuh keikhlasan, dan penuh ketundukan sehingga kita terpancar sebagai Ibadur Rahman yang akan mendapatkan kasih sayang Allah SWT.
Sebagai orang Islam, maka kita wajib menjadikan tauhid sebagai soko guru dari seluruh kegiatan hidup, dan kita pun wajib menjauhi serta menolak perbuatan syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat yang dapat menodai ketauhidan kita kepada Allah SWT.
Tegaknya aqidah dalam keyakinan tauhid ini hendaknya merata di lingkungan keluarga kita, tetangga dan masyarakat. Karena keluarga merupakan tiang utama kehidupan umat dan bangsa sebagai tempat yang kondusif dan menentukan untuk sosialisasi nilai-nilai aqidah Islam. Oleh karena itu, adalah menjadi kewajiban bagi kita untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. 
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا (التحريم :6) 
Marilah kita perhatikan nasihat ahli hikmah Luqman terhadap anaknya :
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (لقمان:13)
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ(لقمان :17)
"Hai anakku janganlah kau berlaku syirik kepada Allah, sesungguhnya syirik itu adalah sebesar-besarnya kedhaliman"
”Hai anakku dirikanlah shalat dan perintahkan yang ma’ruf serta cegahlah yang munkar dan bersabarlah atas apa-apa yang menimpa dirimu. Sesungguhnya itu adalah urusan yang sangat penting”.

Ayat tersebut memberikan pelajaran bahwa dalam menjalankan dakwah Islam amar ma’ruf nahyi munkar, hendaklah dimulai dari diri dan keluarga kita sendiri agar menjadi uswatun hasanah yang solid.

Hadirin Sidang ‘Ied Rahimakumullah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Kabiro.
Marilah kita renungkan kembali amalan-amalan kita di bulan Ramadhan. Setidaknya ada tiga macam amalan yang dapat kita jadikan indikator dari upaya pencerahan hidup guna menjaga keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat dalam rangka mencapai derajat ketaqwaan kepada Allah SWT.

Amalan indikator yang pertama adalah :

“Tadarus Al-Qur’an”
Istilah “tadarus Al-Qur’an” mengandung pengertian membaca al-Qur’an yang tidak sekedar membaca saja tanpa memahami apa arti dan maksudnya. Lebih dari itu al-Qur’an betul-betul dipelajari, difahami, dan dipikirkan isi kandungan ayat-ayatnya untuk kemudian diamalkan sehingga dapat menimbulkan perubahan sikap dan tingkah laku pada diri kita yang mengarah kepada hal-hal yang baik, yang haq, yang menyelamatkan dan menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Dengan demikian biarlah Ramadlan berlalu meninggalkan kita, tapi al-Qur’an akan tetap bersama kita untuk kita baca, kita pelajari, kita fahami, kita hayati, dan kita amalkan.
Al-Qur’an oleh Allah SWT disebut juga sebagai al-Furqan (pembeda/ pembatas) atau al-Dzikr (peringatan). Sebagai al-Furqan, artinya Al-Qur’an telah menegaskan garis demarkasi antara yang baik dan yang buruk, mana yang haq dan mana yang batal, mana jalan keselamatan dan mana jalan yang mencelakakan. Al-Qur’an pun banyak memberikan peringatan (ad-dzikr) baik secara langsung maupun melalui tamsil agar kita dapat dengan mudah menangkap maksud-maksud yang terkandung di dalamnya.

Hadirin Sidang ‘Ied Rahimakumullah.
Di samping berbagai pelajaran dan petunjuk yang secara langsung dapat memberi pengaruh terhadap sisi logis pada diri manusia, interaksi yang intensif dengan Al-Qur’an pun dapat memberikan pengaruh terhadap sisi psikologis manusia.
Allah menyatakan bahwa sebagian kandungan al-Qur’an itu adalah obat penawar bagi beraneka macam penyakit hati.
وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ....…
Penyakit hati tergolong jenis penyakit yang sangat berbahaya, bahkan lebih berbahaya dari penyakit jasmaniah. Allah berfirman :
فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (البقرة :10)
“Di dalam hati-hati mereka itu terdapat penyakit, maka Allah akan menambahkan penyakit itu, dan bagi mereka (telah disiapkan) siksa yang pedih lantaran apa-apa yang telah mereka dustakan”.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا (محمد:24)
 “Tidakkah mereka mentadabburi al-Qur’an, ataukah hati mereka telah terkunci”

Ayat-ayat di atas memberikan gambaran kepada kita akan pentingnya merawat kesehatan hati. Sebab hati yang sakit sangat rentan terhadap infeksi virus-virus syaitan. Dan penyakit hati pun termasuk penyakit yang mudah tumbuh dan menjalar menggerogoti seluruh sisi kemanusiaan seseorang yang mengidapnya.
Oleh sebab itu, hati senantiasa membutuhkan pencerahan demi pencerahan sebelum ia terkunci dan keras membatu. Sebuah riwayat mengatakan bahwasanya hati pun bisa berkarat seperti besi, dan cara membersihkan karat hati itu adalah dengan Membaca Al-Qur’an dan Mengingat Mati.

Selanjutnya pantaslah kalau kita senantiasa bertanya kepada diri kita sendiri : Adakah saya sudah benar-benar beriman kepada Al-Qur’an ?

Hadirin Sidang ‘Ied Rahimakumullah, amalan indikator yang ke-2 adalah :

“Shalat Qiyamu Ramadlan (Tarawih)”
Shalat Qiyamu Ramadlan (Tarawih) kita kenal juga sebagai shalat tahajud atau qiyamul lail. Shalat ini merupakan satu wujud pengabdian atau ibadah kita kepada Allah sebagai bukti ketundukan dan ketaatan kita kepada-Nya. Di sisi lain shalat pun dapat menjadi media bagi kita dalam memohon pertolongan serta perlindungan Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
 “Barangsiapa mendirikan shalat qiyamu ramadlan dengan dasar iman dan ihtisab, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Lebih jauh lagi Allah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa siapa saja yang mendirikan shalat tahajud, maka dia mempunyai kesempatan yang terbuka untuk menempati tempat terpuji di mata Allah SWT.

Hadirin Sidang ‘Ied yang berbahagia,
Kehidupan akan terus berkembang dengan berbagai fenomena yang mengarahkan manusia kepada proses pencerabutan jati dirinya dari kapasitasnya sebagai umat tengahan (ummatan wasathan). 
Di satu sisi banyak manusia yang cenderung menghambakan dirinya kepada materialisme, rasionalisme, dan hedonisme, sehingga dalam kamus mereka tidak dikenal kehidupan akhirat, alam ghaib, yaumul makhsyar, dan hal-hal lain yang tidak tampak atau tidak terpikirkan secara logis. 
Sementara di sisi lain ada juga manusia yang terjebak dalam kubangan asketisme radikal yang hanya peduli kepada ritual-ritual formal dan kegiatan spiritual guna menyatukan dirinya dengan Yang Maha Pencipta, tanpa memperdulikan perannya sebagai kholifah fil ardl yang mestinya banyak berkarya nyata untuk kemashlahatan dan kemakmuran dunia. 
Belum lagi dengan adanya fenomena pluralisme yang akan membawa manusia mengambang terombang-ambing tanpa ada suatu pijakan yang diyakini sebagai satu-satunya sumber Kebenaran Mutlak.

Semua fenomena itu seyogianya kita cermati sembari kita memperkokoh jati diri kita sebagai ummatan washathan dan tetap berada di bawah kesadaran bahwa kita adalah ‘Abdu Allah sekaligus khalifah fil ardl.  

Hadirin Sidang ‘Ied Rahimakumullah, amalan indikator yang ke-3 adalah :

“Menginfakkan harta di jalan Allah”
Untuk mencapai derajat ketaqwaan, ternyata masih ada amalan lain di samping tadarus al-Qur’an dan qiyamu ramadlan. Amalan tersebut adalah infak di jalan Allah, baik dalam bentuk zakat, shadaqah, maupun hibah atau hadiah.
Amalan ini sesungguhnya mencerminkan sikap kepedulian sosial yang harus dimiliki seorang muttaqin. Dalam kehidupan bermasyarakat perlu dibina suatu hubungan sosial yang dilandasi prinsip-prinsip ihsan, ishlah, dan ma’ruf, di antara lingkungan rukun tetangga, rukun warga, dan seterusnya, terutama terhadap kaum mustadh’afin atau para dhu’afa.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Kabiro.


Hadirin Sidang ‘Ied Rahimakumullah.
Di tengah-tengah kita sebetulnya masih banyak kaum dhu’afa (kaum ekonomi lemah) yang terdiri dari kaum fakir, miskin, tunawisma, tuna karya, dan sebagainya. Mereka setiap hari selalu dihimpit persoalan sosial-ekonomi yang sedemikian berat dan terus bertambah berat. Padahal perjuangan mereka tidak lebih dari perjuangan untuk survive atau bertahan agar tetap hidup.
Tidak sedikit di antara mereka anak-anak yang menderita kekurangan gizi sehingga kesehatannya terganggu dan pertumbuhannya terhambat. Hal ini pun lebih jauh lagi berdampak pada merosotnya tingkat kecerdasan mereka, yang akhirnya menyebabkan mereka tetap berada dalam kebodohan. 
Dalam himpitan beban hidup yang kian berat itu, mereka pun harus juga menyaksikan beraneka bentuk kemewahan dan pemubadziran, yang didemonstrasikan oleh orang-orang yang sudah mati perasaan hati nuraninya.
Ada juga di antara mereka yang hampir tidak dapat mengerjakan ajaran Islam, bahkan sampai menukar agama Islam dengan agama atau kepercayaan  lain karena kualitas keimanan mereka sangat mudah digoyahkan oleh pengaruh godaan materi duniawi.
Dalam kasus seperti itu, maka apakah para agniya muslim tidak ikut bertanggung- jawab terhadap nasib para dhu’afa tersebut ? Demikian juga para ulama, zu’ama dan kaum intelektual muslim yang punya pengaruh di masyarakat, tidakkah mereka pun ikut bertanggungjawab dalam peningkatan taraf hidup kaum dhu’afa untuk mengamankan aqidahnya?
Dalam konteks dhu’afa inilah, Rosulullah SAW menyatakan bahwa umat Islam lapisan menengah dan atas mendapat pertolongan dan rizki dari Allah SWT karena jasa para dhu’afa.
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَبْغُونِي ضُعَفَاءَكُمْ فَإِنَّكُمْ إِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ    (رواه احمد)
Dengan demikian sesungguhnya para agniya itu mempunyai “hutang budi” dari para dhu’afa. Jadi dalam sistem sosial Islam alangkah tidak lazimnya jika masih ada kaum agniya atau para hartawan yang enggan berinfak untuk membantu kehidupan para dhu’afa.
Maka Hadirin Sidang ‘Ied yang berbahagia, bila kita mau mengambil pelajaran dari hadis tadi, marilah kita tunaikan amalan berinfak di jalan Allah tersebut sejauh kemampuan kita. Sebab amalan itu ternyata tidak hanya didukung di alam insaniah tetapi juga didukung di alam malakiyah. Rosulullah menegaskan dalam hadis riwayat Bukhori-Muslim bahwa para malaikat pun ikut mendo’akan  orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Kabiro.
Hadirin Sidang ‘Ied Rahimakumullah.
Dalam upaya membina pribadi muttaqin, salah seorang ulama pakar pendidikan yang bernama Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya yang berjudul Ruuhiyah ad-Daa’iyah menyebutkan 5 sikap yang dapat membuat seorang bisa meningkatkan dan mengkokohkan ketakwaan kepada Allah swt.
Sikap Pertama adalah Al-Mu’ahadah, yaitu ingat pada perjanjian. Dari segi dengan siapa kita berjanji maka janji utama kita adalah kepada Allah swt. yang harus kita penuhi. Apalagi janji itu sering kali disebut dengan utang yang memang harus dibayar. Sadar atau tidak, manusia sebenarnya sudah berjanji kepada Allah sejak dalam kandungan untuk mengakui-Nya sebagai Tuhan yang dengan janji itu konsekuensinya manusia mau tunduk kepada Allah swt. Bahkan janji tersebut terdapat dalam Al-Qur’an:
قُلْ إِنَّ صَلاَتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْياَيَ وَمَمَاتِيْ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ (الأنعام: 161) 
“Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam. (Al-An’am: 161)
Janji kita juga kita ulangi lagi ketika surah Al-Fatihah dibaca, yaitu:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (الفاتحة: 5) 
”Kepadamu aku mengabdi dan kepadaMu aku mohon pertolongan”              
(Al-Fatihah: 5)
Dengan demikian, setiap kita sudah berjanji untuk menjalankan kehidupan ini dengan nilai ibadah dan Allah swt. sendiri harus memberikan tugas hidup kepada manusia hanya satu, yaitu ibadah. Kalau tugas kita hanya satu ibadah, yaitu ibadah bukan berarti yang kita kerjakan hanya shalat, wirid, zikir, dan sejenisnya, melainkan seluruh perbuatan yang kita dari bangun tidur di pagi hari hingga tidur lagi di malam hari, semua harus bernilai ibadah. Agar seluruh perbuatan kita bernilai ibadah maka segala perbuatan harus dilandasi dengan niat yang ikhlas, cara yang benar dan tujuannya dalam rangka mendapat ridha Allah swt.

Sikap kedua yang harus kita bangun untuk bisa mengokohkan dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah swt. adalah Al-Muraqabah, yaitu merasa dekat kepada Allah swt. Hal itu perlu dilakukan oleh seorang muslim karena dengan merasa dekat kepada Allah, seseorang selalu merasa di awasi oleh Allah yang membuatnya selalu berpikir sebelum berbuat dan tidak berani menyimpang dari jalan Allah. Sikap Al-Muraqabah memang mutlak harus kita miliki karena Allah swt. sebenarnya sudah dekat, hanya kita seringkali merasa jauh dengan Allah. Allah berfirman:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَاكُنْتُمْ، وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ (الحديد: 4) 
“...Dan Dia (Allah) bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hadiid: 4)

Bahkan, di dalam ayat lain Allah juga berfirman,
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ، وَمَايَكُوْنُ مِنْ نَجْوَى ثَلاَثَةٍ إِلاَّ هُوَ رَابِعُهُمْ وَلاَ خَمْسَةٍ إِلاَّ هُوَ سَادِسُهُمْ وَلاَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلاَ أَكْثَرَ إِلاَّ هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَاكَانُوْ، ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوْا يَوْمَ القِيَامَةِ، إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ (المجادِلة: 7) 

“Tidakakah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah mengetahui yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tiada pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau yang lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” 
(Al-Mujadilah: 7)

Jama’ah sidang Ied yang berbahagia
Sikap ketiga yang harus dimiliki seorang muslim untuk meningkatkan dan mengkokohkan ketakwaan adalah dengan melakukan apa yang disebut dengan Al-Muhasabah atau menghitung-hitung diri, introspeksi diri yang juga merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim. Apalagi kelak setiap amal manusia akan dihisab oleh Allah swt. dan sebelum itu manusia harus menghisab sendiri amal-amalnya agar dia tahu apakah selama ini dia lebih banyak beramal saleh atau beramal yang salah. Sahabat Nabi, Umar bin Khathab pernah mengingatkan hal itu dalam satu ungkapannya,
حَاسِبُوْا اَنْفُسَكُمْ قَبْلَ اَنْ تُحَاسِبُوْا
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (di hari Kiamat)”
Oleh karena itu, ada baiknya seorang muslim melakukan muhasabah atau introspeksi setiap harinya, misalnya menjelang tidur, dia perlu merenungi perjalanan hidupnya hari itu agar dia meningkatkan kualitas hidupnya pada hari esok. Allah swt. berfirman,
يَأَيُهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ، وَاتَّقُوْا اللهَ، إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ (الحشِر: 18) 
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah di perbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18).

Jama’ah sidang Ied yang berbahagia
Sikap keempat yang harus dikembangkan seorang mukmin untuk meningkatkan dan mengkokohkan ketakwaan adalah Al-Mu’aqabah atau memberikan sangsi atau hukuman bagi diri sendiri. Sikap ini perlu dilazimkan supaya kita terhindar dari pengulangan atas kesalahan yang sama atau terjadinya pelanggaran dalam bentuk yang lain. Di samping itu, bentuk hukumannya sendiri akan mendidik kita agar mampu melaksanakan amalan yang lebih berkualitas meskipun dirasa relatif lebih berat.
Kita biasakan untuk 'menghukum' (iqab) diri kita, bila kita sadar mengalami penurunan amal, ibadah ataupun berbuat maksiat.  Menurut satu riwayat, pernah Umar bin Khatab karena terlalu asyiknya mengamati & menikmati kebun kurma, hingga tertinggal berjama’ah sholat ashar dengan sahabat-sahabat lainnya. Maka Umar selanjutnya meng-iqab dirinya dengan mensedekahkan 1/3 hasil kebun kurmanya.

Jama’ah sidang Ied yang berbahagia
Sikap terakhir yang kelima, adalah Al-Mujahadah yang secara harfiah artinya ‘bersungguh-sungguh’ dalam arti bersungguh-sungguh dalam menjalankan ajaran Islam. Hal ini karena Islam memang harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan. Tanpa kesungguhan, sangat sulit seseorang untuk bisa melaksanakan ajaran Islam. Shalat lima waktu menuntut adanya kesungguhan, puasa dan infak juga demikian, apalagi jihad di jalan Allah. Apabila seseorang memiliki kesungguhan, niscaya Allah akan memberikan kemudahan baginya dalam menghadapi kesulitan itu. Allah berfirman,
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْناَ لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَناَ، وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْن (الأنكبوت: 69) 
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari kerihaan) Kami, benar-benar Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat baik” (Al-Ankabuut: 69).
Dengan demikian, ketakwaan kepada Allah harus kita mantapkan terus karena hanya dengan cara itulah seorang muslim akan memperoleh kebahagiaan yang hakiki di dunia maupun di akhirat.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Kabiro.

Hadirin Sidang ‘Ied Rahimakumullah.
Sebenarnya dari hakikat ibadah puasa itu sendiri, kita akan banyak mendapatkan hikmah.  Jasmani kita menjadi sehat, Rohani kita tersiram dengan sifat perwira (‘iffah), sifat muraqabah, disiplin, amanah, dan sebagainya. Bila hikmah puasa itu dipadukan dengan hikmah amalan-amalan yang lain sebagaimana telah dipaparkan, maka semua itu sudah cukup memadai untuk dijadikan fondasi dalam membangun pribadi-pribadi muttaqin. Pribadi-pribadi yang nantinya akan menjadi inti dalam proses pencerahan peradaban umat yang dimulai dari komunitas masyarakat terkecil yaitu keluarga.

Hadirin Sidang ‘Ied Rahimakumullah.
Di bagian akhir khutbah ini, saya mengajak hadirin semua, agar amalan-amalan utama yang kita tunaikan di bulan Ramadlan, tetap kita lestarikan, kita teruskan di bulan-bulan yang akan datang. Insyaallah kita akan menjadi kuat, tahan banting, dan tidak gamang dalam menghadapi beraneka macam perubahan jaman dan dalam menjalani pergesekan dengan budaya serta faham-faham kontemporer yang tidak selaras dengan ajaran agama Islam.
Marilah kita tingkatkan pemahaman kita terhadap agama Islam secara intensif dengan meningkatkatkan interaksi langsung kita secara proaktif dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam.
Marilah kita tingkatkan intensitas dan kualitas hubungan kita dengan Allah SWT baik melalui ibadah yang wajib maupun ibadah yang sunat, agar kita senantiasa dekat dengan hidayah dan inayah Allah SWT.
Marilah kita perbanyak ibadah sosial kita melalui beraneka bentuk infak fi sabilillah, dan berjihad dalam berbagai bidang kehidupan dengan senantiasa mengindahkan norma-norma akhlak Islam.


Semoga hari ini menjadi hari persalinan kita.
Yang terlahir sebagai pribadi-pribadi muttaqin,
dengan tangis fitri dan geliat fitrah
yang siap mewarnai cakrawala peradaban umat nan cerah.
Amin, Ya Robbal ‘Alamin.

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ
وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.



Tidak ada komentar: