Jumat, 16 November 2007

REFLEKSI DI BALIK KURSI TERBALIK

....................................... PLESBEK

Setelah para elit partai berjibaku untuk meraih kursi di parlemen, kini giliran para pelaku dunia pendidikan yang mempermasalahkan tentang “kursi”. Mungkin kita masih ingat, waktu belajar menulis angka-angka kita diajari guru bagaimana menulis sebuah angka yang bentuknya seperti “kursi terbalik”, itulah angka empat. Dan kita juga mungkin pernah diajari menulis angka tiga yang diasosiasikan dengan “monyet sedang duduk”, dan seterusnya. Bapak atau ibu guru yang mengajarkan menulis angka-angka dengan mengasosiasikannya terhadap sesuatu yang relatif sudah dikenali muridnya, tentu dengan tujuan untuk mempercepat proses pemahaman bagi anak didiknya. Meskipun memang pengasosiasian ini jadi tidak efektif manakala sang murid belum mengenal kursi, monyet, angsa, dan sebagainya yang dijadikan benda asosiasinya.
Pro-kontra terhadap kebijakan Mendiknas tentang nilai minimum kelulusan siswa sekolah lanjutan ini sesungguhnya menjadi cermin besar untuk berkaca : serendah apakah mutu dunia pendidikan bangsa kita. Mungkin kita belum bisa mengukur dengan ungkapan “setinggi apa” karena angka empat itu terlalu rendah jika dibandingkan dengan angka delapan apalagi dengan angka sepuluh.
Sepintas lalu “kerendahan” itu bisa dilihat dari munculnya sikap-sikap pesimis “kalah sebelum bertanding” yang sebetulnya kurang pantas mengemuka dalam dunia pendidikan. Peribahasa mengatakan : “Takut salah itu sudah salah dan takut kalah itu sudah kalah”. Entah dari mana sikap ini pertama kali muncul, apakah dari para siswa atau orang tuanya, apakah dari para guru atau kepala sekolah, atau bahkan dari para politisi. Yang pasti meskipun sikap ini dilatarbelakangi alasan-alasan logis baik yang empiris maupun yang futuristis, namun sikap pesimistis tetap saja kurang produktif dalam dunia pendidikan, apalagi ketika ia terlambat muncul mengemuka di saat Ujian Nasional sudah di depan mata. Belum lagi jika kita melihat kisaran angka yang diperdebatkan, semakin jelaslah bahwa baik subyek pembuat kebijakan maupun obyeknya, sama-sama sedang “bermain” dalam wilayah pesimistik. Mengapa tidak sekalian saja memasang angka enam misalnya, jika pembuat kebijakan tidak dalam posisi pesimis.
Demikianlah kiranya jika permasalahan pendidikan ini muncul dengan kesendiriannya dan dipandang dalam kondisi bangsa yang yang sedang normal sehat wal afiat. Hanya saja bangsa ini sedang menderita gejala komplikasi yang sangat akut sehingga untuk mengobati satu penyakit perlu memperhatikan penyakit-penyakit yang lainnya. Apalagi jika para dokternya sendiri sedang sakit, perlu dokter lain yang sehat untuk menyembuhkan terlebih dahulu para dokter yang sakit itu agar bisa bekerja dengan baik.
Maka dari itu, persoalan utama yang dihadapi bangsa ini adalah bagaimana mencari dokter yang tidak sakit atau minimal yang agak sakit dimana penyakitnya itu tidak menular dan berbahaya. Jika dokter dimaksud sudah ditemukan kita berharap dia mampu mengobati gejala komplikasi yang diderita bangsa ini. Salah satu contohnya, dia mampu menindaklanjuti “tindakan medis” terhadap pasien yang tidak mampu menggambar “kursi terbalik” dengan resep berupa “tiket gratis” untuk mengikuti les menggambar selama tahun pelajaran yang akan datang.
Dalam konteks pemilu 2004, jika dokter yang kita cari itu adalah para capres yang akan dipilih pada tanggal 5 juli 2004 nanti, maka seyogianya kita memilih capres yang paling sedikit terlibat masalah-masalah yang menghambat tujuan reformasi di negeri kita ini. Dan jika kita kesulitan memilih sosok capres seperti itu, karena saat ini mereka sama-sama melakukan “penampakan” yang bagus, maka ada cara lain yang cukup mudah dan dapat dipertanggungjawabkan. Cara tersebut adalah dengan mengingat kembali transaksi reformasi yang pernah kita akadkan ketika bangsa kita hendak menjalani “bedah tumor politik” beberapa tahun yang lalu.
Kalau tidak salah, kita masih punya tagihan tanggungjawab dari beberapa dokter reformasi yang pernah melakukan pembedahan tumor politik di tubuh bangsa ini. Di antara mereka ada yang belum diberi kesempatan untuk memimpin dan menuntaskan proses pembedahan itu, mumpung saat ini masih ada di antara mereka yang siap bertanggungjawab. Ini adalah kesempatan emas yang terakhir, jika kesempatan ini tidak kita manfaatkan, maka dokter-dokter itu mungkin sudah sulit kita minta pertanggungjawabannya di masa yang akan datang. Tentang siapakah dokter-dokter itu, silakan buka arsip-arsip pemberitaan media massa selama pertengahan tahun 1998.
Akhirnya, kepada para pelajar saya mengucapkan selamat berjuang dengan penuh semangat optimisme. Jangan kalah sebelum bertanding, belajar dan berdo’alah agar bisa mempersembahkan lukisan “si kurus dan si gemuk” bagi Ibu Pertiwi yang masih terbaring di meja operasi, menunggu dokter bedah reformasi yang belum sempat mendapat giliran untuk bertanggungjawab. “You are today stars blinking in the sky, and tomorrow you’ll be the the sun”.
Tasikmalaya, 5 Mei 2004

Tidak ada komentar: