Jumat, 16 November 2007

(SEBAGIAN) KONSEP ISLAM TENTANG SENI

(SEBAGIAN) KONSEP ISLAM TENTANG SENI

Manusia diciptakan Allah dalam wujud atau bentuk yang paling indah di antara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan keindahan wujudnya itu manusia juga mempunyai kecenderungan menyukai hal-hal yang dianggap lebih indah atau lebih baik dalam kehidupannya. Kecenderungan tersebut merupakan fitrah yang dianugerahkan Allah agar manusia dapat menjaga kemuliaan dan kehormatannya sebagai makhluk Allah.Rasa keindahan merupakan bagian dari perwujudan rasa seni yang dimiliki manusia. Dengan rasa seninya tersebut, setiap manusia dapat menciptakan atau menikmati karya-karya seni yang selanjutnya dapat membangkitkan rasa kagum, rasa senang dan sebagainya. Kemudian dengan tergugahnya perasaan tersebut, manusia dapat sampai kepada suatu kesadaran tertentu. Dan rasa yang sering diasah dengan melakukan kegiatan-kegiatan seni akan menjadi lebih tajam dan peka yang nantinya sangat berguna bagi manusia dalam menanggapi setiap permasalahan dalam hidupnya.Permasalahannya, rasa seni atau rasa keindahan yang seperti apakah yang dapat mengasah kepekaan rasa serta dapat menjaga kehormatan manusia dan kemuliaannya di mata Allah SWT ?. Pertanyaan ini dimunculkan sehubungan dengan maraknya karya-karya atau kegiatan-kegiatan yang dikatakan “seni” dalam kehidupan kita sehari-hari, tetapi keadaan tersebut tidak jarang memicu berbagai permasalahan dalam masyarakat.
____________
Dalam falsafah keindahan, setidaknya terdapat dua teori yang berbeda satu-sama lain yang dikemukakan para ahli filsafat, yaitu sebagai berikut :
1. Teori Subyektif, yang mengatakan bahwa keindahan itu adalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda.
2. Teori Obyektif, yang mengatakan bahwa keindahan itu memang ada dan melekat pada suatu benda.Dalam Alqur’an terdapat juga ayat-ayat yang mengisyaratkan kedua teori tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut :- Q.S. Fathir (35) : 27-28 yang artinya :“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam warnanya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada pula yang hitam pekat.”“Dan demikian pula di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya. Sesung-guhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ”Pada ayat-ayat di atas terlihat betapa ciptaan-ciptaan Allah itu mempunyai nilai keindahan yang melekat pada dirinya sendiri (obyektif). Ayat-ayat tersebut melukiskan bagaimana tumbuhan, hewan, gunung, dan manusia mempunyai warna-warni yang beraneka ragam sehingga dapat membangkitkan rasa keindahan (estetis) bagi orang yang mengamatinya. Kemudian pada ayat-ayat lain dilukiskan juga bagaimana pada ciptaan Allah itu terdapat keseimbangan atau keharmonisan yang menjadi salah satu syarat bagi sesuatu yang disebut indah atau berseni. (lihat Q.S. Al-Hijr (15) : 19, Al-Mulk (67) : 3-5, At-Taghabun (64) : 3, As-Sajdah (32) : 7, Al-A’raf (7) : 11, Ali Imran (3) : 6, Al-Mu’minun (18) : 14, dll. )Kiranya sudah jelaslah bahwa keindahan sebagai sesuatu yang berada di luar diri manusia (sbg. Pengamat keindahan) diakui secara tersirat di dalam Al-Qur’an.Adapun ayat-ayat yang menyiratkan teori subyektif, misalnya ayat-ayat sebagai berikut :- Q.S. An-Nahl (16) : 5-6 yang artinya :“Dan Allah telah menciptakan binatang ternak untukmu, padanya terdapat bulu yang menghangatkan, dan berbagai manfaat serta sebahagiannya kamu makan. Dan kamu daripadanya memperoleh “kesan keindahan” ketika kamu menggiringnya ke kandang dan ketika melepaskannya ke penggembalaan”- Q.S. An-Nahl (16) : 8, yang artinya :“Dan Allah telah menciptakan kuda, bigal dan keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya sebagai perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.”Pada dua ayat pertama terlihat bagaimana keindahan itu (kata “jamalun”) dilukiskan sebagai pandangan / kesan yang muncul dari diri manusia setelah mengamati sesuatu. Selanjutnya pada ayat di bagian kedua dilukiskan bagaimana binatang seperti kuda atau keledai dapat jadi perhiasan bagi manusia. Kata perhiasan tentunya ditujukan bagi sesuatu yang mempunyai nilai seni / keindahan. Padahal tidak semua orang dapat menikmati atau menghayati nilai keindahan pada seekor kuda. Jadi dengan demikian keindahan itu bukan sesuatu yang ada pada diri seekor kuda, tapi berada pada diri seseorang yang menikmati kuda itu.Dari dua teori di atas yang masing-masing secara tidak langsung didukung ayat-ayat Al-Qur’an maka rumusan tentang bagaimana sesungguhnya hakikat seni atau keindahan itu, dalam Islam akhirnya dikembalikan kepada tingkat apresiasi manusia sendiri terhadap Islam, jika Islam memang mau dijadikan sebagai “kaca mata pandang”-nya..Perlu ditegaskan di sini bahwa Islam sebagai agama yang mengandung ajaran-ajaran aqidah, akhlak, dan syari’ah, senantiasa mengukur segala sesuatu, baik itu benda maupun kegiatan, dengan ketiga aspek di atas. Demikian pula halnya dengan ukuran tentang nilai seni atau nilai estetis dalam Islam, maka pertimbangan moral, aqidah dan syari’at Islam tetap akan selalu menjadi patokan.Maka seorang muslim dengan masing-masing kapasitasnya dalam mempelajari, meyakini dan menghayati ajaran Islamnya dituntut untuk konsisten dan bersikap jujur terhadap keyakinan- nya sendiri. Bukankah Allah juga memberi opsi “siapa yang mau beriman, ya berimanlah, dan siapa yang mau ingkar, yang ingkarilah !”Berdasarkan uraian di atas, maka Islam sebetulnya telah mengkonsep seni dalam wilayah ijtihadiyah (thinkable). Dan di antara prinsip-prinsip ijtihad adalah : ilmu, niat, totalitas, kearifan dalam membaca kompleksitas. Wallahu a’lam. (Asep Hilman Yahya, S. Ag.)

Tidak ada komentar: