Aku nggak mau gegabah......
banyak hal yang masih harus kupertimbangkan.
Tugas suci....... mungkin ya.
menjadi juru selamat umat manusia
melanjutkan risalah-Mu
menjadi personifikasi janji-Mu di Buku-buku suci.
Aku nggak mau gegabah......
banyak hal yang masih harus kupertimbangkan.
Yang pada muncul kemarin saja malah bikin kisruh
Wahyu saja sepertinya nggak cukup dech,
apalagi nggak dibackup dengan kemampuan luar biasa
seperti menghidupkan orang mati, merubah tongkat jadi ular, atau membelah samudra, dan yang lebih dahsyat lagi.
Oh iya Tuhan,
saat ini manusia sudah susah mempercayai hal-hal yang .........
(bersambung)
Sabtu, 08 Desember 2007
Sabtu, 01 Desember 2007
CUMA BANYAK KERTAS POLIO
Teman saya beberapa waktu yang lalu terdaftar ikut sertifikasi guru, namun katanya untuk periode kali ini dia belum berhasil. Salah satu hal yang ia keluhkan adalah minimnya dokumen-dokumen yang berkaitan dengan keterlibatan dia dalam event-event peningkatan kualitas dia sebagai guru seperti penataran-penataran, lomba-lomba dan sebuagainya.
Dia berkata bagaimana mungkin punya dokumen-dokumen seperti itu, sementara ikut saja nggak pernah, terus kegiatan-kegiatan peningkatan mutu seperti itu jarang sekali diadakan (dulu), kalaupun ada yang diikutkan oleh sekolah orangnya pasti guru-guru yang sudah spesialis peserta pelatihan (sebut saja guru yang agak "menonjol") dan itu-itu lagi dan saja.
Sambil agak nggrundel dia berkata,"Kalo mau jujur, sesungguhnya guru-guru yang paling banyak dokumen portofolio hasil pelatihan, training, penataran dan sebagainya itu adalah mereka yang frekuensi "meninggalkan anak didiknya" lebih banyak dibandingkan dengan saya. Maka dari itu, saya mah punya lebih banyak dokumen kertas polio dari pada dokumen portofolio".
Terus saya kasih dia "obat puruluk" begini : "Yah, sabar saja lah mas........ wong sertifikasi itu kan untuk saat ini hanya bagi mereka yang termasuk para guru level 1. Artinya mereka para guru yang kebetulan : Punya prestasi nomor satu, sekolahnya pun termasuk nomor satu, kalo juga relevan, peruntukannya juga masih diprioritaskan bagi anak kandung negri ini (baca : guru PNS). Mudah-mudahan sertifikasi ini tidak hanya terhenti sampai menyentuh mereka yang di level 1, sebab kalo demikian sama saja dengan ungkapan "yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin".
Perlu juga dipikirkan bahwa nanti guru yang sudah bersertifikat itu dicoba dimutasikan ke sekolah-sekolah level bawah yang kondisinya serba darurat. Hal ini sangat perlu karena tidak sedikit guru yang lupa diri, seolah-olah keberhasilannya itu karena kemampuan dirinya saja. Lupa kepada situasi, kondisi, dan berbagai hal lain yang sangat kondusif dan menjadikannya duduk di level 1.
Berapa banyakkah di antara mereka yang bisa menggeliat mendapat sertifikat dengan bermodalkan bekerja di sekolah darurat yang setiap hari bergulat dalam lumpur pekatttttt............................................ Wallahu a'lam.
Tasikmalaya, 1 Desember 2007
Dari hilman buat Mas Basssss......
Dia berkata bagaimana mungkin punya dokumen-dokumen seperti itu, sementara ikut saja nggak pernah, terus kegiatan-kegiatan peningkatan mutu seperti itu jarang sekali diadakan (dulu), kalaupun ada yang diikutkan oleh sekolah orangnya pasti guru-guru yang sudah spesialis peserta pelatihan (sebut saja guru yang agak "menonjol") dan itu-itu lagi dan saja.
Sambil agak nggrundel dia berkata,"Kalo mau jujur, sesungguhnya guru-guru yang paling banyak dokumen portofolio hasil pelatihan, training, penataran dan sebagainya itu adalah mereka yang frekuensi "meninggalkan anak didiknya" lebih banyak dibandingkan dengan saya. Maka dari itu, saya mah punya lebih banyak dokumen kertas polio dari pada dokumen portofolio".
Terus saya kasih dia "obat puruluk" begini : "Yah, sabar saja lah mas........ wong sertifikasi itu kan untuk saat ini hanya bagi mereka yang termasuk para guru level 1. Artinya mereka para guru yang kebetulan : Punya prestasi nomor satu, sekolahnya pun termasuk nomor satu, kalo juga relevan, peruntukannya juga masih diprioritaskan bagi anak kandung negri ini (baca : guru PNS). Mudah-mudahan sertifikasi ini tidak hanya terhenti sampai menyentuh mereka yang di level 1, sebab kalo demikian sama saja dengan ungkapan "yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin".
Perlu juga dipikirkan bahwa nanti guru yang sudah bersertifikat itu dicoba dimutasikan ke sekolah-sekolah level bawah yang kondisinya serba darurat. Hal ini sangat perlu karena tidak sedikit guru yang lupa diri, seolah-olah keberhasilannya itu karena kemampuan dirinya saja. Lupa kepada situasi, kondisi, dan berbagai hal lain yang sangat kondusif dan menjadikannya duduk di level 1.
Berapa banyakkah di antara mereka yang bisa menggeliat mendapat sertifikat dengan bermodalkan bekerja di sekolah darurat yang setiap hari bergulat dalam lumpur pekatttttt............................................ Wallahu a'lam.
Tasikmalaya, 1 Desember 2007
Dari hilman buat Mas Basssss......
Minggu, 18 November 2007
INTERMEZZZO
QUANTUM LEARNING & QUANTUM TEACHING
Tahukah Anda .........??
Bahwa sesungguhnya dua metode belajar dan mengajar yang sempat ngetrend dengan nama QUANTUM LEARNING & QUANTUM TEACHING itu merupakan hasil kolaborasi tiga orang ahli pendidikan dari tiga negara (suku bangsa).
Mereka itu terdiri dari orang Sunda, orang Arab dan orang Inggris. Hal ini terbukti dari nama yang diambil untuk kedua metode itu yang ternyata berasal dari tiga bahasa mereka. Mari kita analisis dengan metode Q-Rata.
Qu = berasal dari kata "ku" dalam bahasa Sunda yang berarti "oleh"
antum = berasal dari bahasa Arab yang berarti "kamu / anda"
Learning & Teaching = jelas berasal dari bahasa Inggris yang artinya "belajar & mengajar"
Jadi pada dasarnya kedua metode itu mengandung pengertian bahwa kesuksesan belajar atau mengajar itu sangat tergantung kepada Anda sendiri yang melakukannya. Atau dalam ungkapan orang Tepung Kanjut dapat dikatakan seperti ini :
"Nu ngarana diajar atawa ngajar mah kuma' maneh we....................... . Meunang hasil nu mucekil kulantaran usaha maneh, gagal oge kulantaran usaha maneh sorangan................"
Maka jangan dulu silau dengan berbagai metode yang menjulang dengan nama kebritish-britisan............ .
Tahukah Anda .........??
Bahwa sesungguhnya dua metode belajar dan mengajar yang sempat ngetrend dengan nama QUANTUM LEARNING & QUANTUM TEACHING itu merupakan hasil kolaborasi tiga orang ahli pendidikan dari tiga negara (suku bangsa).
Mereka itu terdiri dari orang Sunda, orang Arab dan orang Inggris. Hal ini terbukti dari nama yang diambil untuk kedua metode itu yang ternyata berasal dari tiga bahasa mereka. Mari kita analisis dengan metode Q-Rata.
Qu = berasal dari kata "ku" dalam bahasa Sunda yang berarti "oleh"
antum = berasal dari bahasa Arab yang berarti "kamu / anda"
Learning & Teaching = jelas berasal dari bahasa Inggris yang artinya "belajar & mengajar"
Jadi pada dasarnya kedua metode itu mengandung pengertian bahwa kesuksesan belajar atau mengajar itu sangat tergantung kepada Anda sendiri yang melakukannya. Atau dalam ungkapan orang Tepung Kanjut dapat dikatakan seperti ini :
"Nu ngarana diajar atawa ngajar mah kuma' maneh we....................... . Meunang hasil nu mucekil kulantaran usaha maneh, gagal oge kulantaran usaha maneh sorangan................"
Maka jangan dulu silau dengan berbagai metode yang menjulang dengan nama kebritish-britisan............ .
Jumat, 16 November 2007
(SEBAGIAN) KONSEP ISLAM TENTANG SENI
(SEBAGIAN) KONSEP ISLAM TENTANG SENI
Manusia diciptakan Allah dalam wujud atau bentuk yang paling indah di antara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan keindahan wujudnya itu manusia juga mempunyai kecenderungan menyukai hal-hal yang dianggap lebih indah atau lebih baik dalam kehidupannya. Kecenderungan tersebut merupakan fitrah yang dianugerahkan Allah agar manusia dapat menjaga kemuliaan dan kehormatannya sebagai makhluk Allah.Rasa keindahan merupakan bagian dari perwujudan rasa seni yang dimiliki manusia. Dengan rasa seninya tersebut, setiap manusia dapat menciptakan atau menikmati karya-karya seni yang selanjutnya dapat membangkitkan rasa kagum, rasa senang dan sebagainya. Kemudian dengan tergugahnya perasaan tersebut, manusia dapat sampai kepada suatu kesadaran tertentu. Dan rasa yang sering diasah dengan melakukan kegiatan-kegiatan seni akan menjadi lebih tajam dan peka yang nantinya sangat berguna bagi manusia dalam menanggapi setiap permasalahan dalam hidupnya.Permasalahannya, rasa seni atau rasa keindahan yang seperti apakah yang dapat mengasah kepekaan rasa serta dapat menjaga kehormatan manusia dan kemuliaannya di mata Allah SWT ?. Pertanyaan ini dimunculkan sehubungan dengan maraknya karya-karya atau kegiatan-kegiatan yang dikatakan “seni” dalam kehidupan kita sehari-hari, tetapi keadaan tersebut tidak jarang memicu berbagai permasalahan dalam masyarakat.
____________
Dalam falsafah keindahan, setidaknya terdapat dua teori yang berbeda satu-sama lain yang dikemukakan para ahli filsafat, yaitu sebagai berikut :
1. Teori Subyektif, yang mengatakan bahwa keindahan itu adalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda.
2. Teori Obyektif, yang mengatakan bahwa keindahan itu memang ada dan melekat pada suatu benda.Dalam Alqur’an terdapat juga ayat-ayat yang mengisyaratkan kedua teori tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut :- Q.S. Fathir (35) : 27-28 yang artinya :“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam warnanya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada pula yang hitam pekat.”“Dan demikian pula di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya. Sesung-guhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ”Pada ayat-ayat di atas terlihat betapa ciptaan-ciptaan Allah itu mempunyai nilai keindahan yang melekat pada dirinya sendiri (obyektif). Ayat-ayat tersebut melukiskan bagaimana tumbuhan, hewan, gunung, dan manusia mempunyai warna-warni yang beraneka ragam sehingga dapat membangkitkan rasa keindahan (estetis) bagi orang yang mengamatinya. Kemudian pada ayat-ayat lain dilukiskan juga bagaimana pada ciptaan Allah itu terdapat keseimbangan atau keharmonisan yang menjadi salah satu syarat bagi sesuatu yang disebut indah atau berseni. (lihat Q.S. Al-Hijr (15) : 19, Al-Mulk (67) : 3-5, At-Taghabun (64) : 3, As-Sajdah (32) : 7, Al-A’raf (7) : 11, Ali Imran (3) : 6, Al-Mu’minun (18) : 14, dll. )Kiranya sudah jelaslah bahwa keindahan sebagai sesuatu yang berada di luar diri manusia (sbg. Pengamat keindahan) diakui secara tersirat di dalam Al-Qur’an.Adapun ayat-ayat yang menyiratkan teori subyektif, misalnya ayat-ayat sebagai berikut :- Q.S. An-Nahl (16) : 5-6 yang artinya :“Dan Allah telah menciptakan binatang ternak untukmu, padanya terdapat bulu yang menghangatkan, dan berbagai manfaat serta sebahagiannya kamu makan. Dan kamu daripadanya memperoleh “kesan keindahan” ketika kamu menggiringnya ke kandang dan ketika melepaskannya ke penggembalaan”- Q.S. An-Nahl (16) : 8, yang artinya :“Dan Allah telah menciptakan kuda, bigal dan keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya sebagai perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.”Pada dua ayat pertama terlihat bagaimana keindahan itu (kata “jamalun”) dilukiskan sebagai pandangan / kesan yang muncul dari diri manusia setelah mengamati sesuatu. Selanjutnya pada ayat di bagian kedua dilukiskan bagaimana binatang seperti kuda atau keledai dapat jadi perhiasan bagi manusia. Kata perhiasan tentunya ditujukan bagi sesuatu yang mempunyai nilai seni / keindahan. Padahal tidak semua orang dapat menikmati atau menghayati nilai keindahan pada seekor kuda. Jadi dengan demikian keindahan itu bukan sesuatu yang ada pada diri seekor kuda, tapi berada pada diri seseorang yang menikmati kuda itu.Dari dua teori di atas yang masing-masing secara tidak langsung didukung ayat-ayat Al-Qur’an maka rumusan tentang bagaimana sesungguhnya hakikat seni atau keindahan itu, dalam Islam akhirnya dikembalikan kepada tingkat apresiasi manusia sendiri terhadap Islam, jika Islam memang mau dijadikan sebagai “kaca mata pandang”-nya..Perlu ditegaskan di sini bahwa Islam sebagai agama yang mengandung ajaran-ajaran aqidah, akhlak, dan syari’ah, senantiasa mengukur segala sesuatu, baik itu benda maupun kegiatan, dengan ketiga aspek di atas. Demikian pula halnya dengan ukuran tentang nilai seni atau nilai estetis dalam Islam, maka pertimbangan moral, aqidah dan syari’at Islam tetap akan selalu menjadi patokan.Maka seorang muslim dengan masing-masing kapasitasnya dalam mempelajari, meyakini dan menghayati ajaran Islamnya dituntut untuk konsisten dan bersikap jujur terhadap keyakinan- nya sendiri. Bukankah Allah juga memberi opsi “siapa yang mau beriman, ya berimanlah, dan siapa yang mau ingkar, yang ingkarilah !”Berdasarkan uraian di atas, maka Islam sebetulnya telah mengkonsep seni dalam wilayah ijtihadiyah (thinkable). Dan di antara prinsip-prinsip ijtihad adalah : ilmu, niat, totalitas, kearifan dalam membaca kompleksitas. Wallahu a’lam. (Asep Hilman Yahya, S. Ag.)
Manusia diciptakan Allah dalam wujud atau bentuk yang paling indah di antara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan keindahan wujudnya itu manusia juga mempunyai kecenderungan menyukai hal-hal yang dianggap lebih indah atau lebih baik dalam kehidupannya. Kecenderungan tersebut merupakan fitrah yang dianugerahkan Allah agar manusia dapat menjaga kemuliaan dan kehormatannya sebagai makhluk Allah.Rasa keindahan merupakan bagian dari perwujudan rasa seni yang dimiliki manusia. Dengan rasa seninya tersebut, setiap manusia dapat menciptakan atau menikmati karya-karya seni yang selanjutnya dapat membangkitkan rasa kagum, rasa senang dan sebagainya. Kemudian dengan tergugahnya perasaan tersebut, manusia dapat sampai kepada suatu kesadaran tertentu. Dan rasa yang sering diasah dengan melakukan kegiatan-kegiatan seni akan menjadi lebih tajam dan peka yang nantinya sangat berguna bagi manusia dalam menanggapi setiap permasalahan dalam hidupnya.Permasalahannya, rasa seni atau rasa keindahan yang seperti apakah yang dapat mengasah kepekaan rasa serta dapat menjaga kehormatan manusia dan kemuliaannya di mata Allah SWT ?. Pertanyaan ini dimunculkan sehubungan dengan maraknya karya-karya atau kegiatan-kegiatan yang dikatakan “seni” dalam kehidupan kita sehari-hari, tetapi keadaan tersebut tidak jarang memicu berbagai permasalahan dalam masyarakat.
____________
Dalam falsafah keindahan, setidaknya terdapat dua teori yang berbeda satu-sama lain yang dikemukakan para ahli filsafat, yaitu sebagai berikut :
1. Teori Subyektif, yang mengatakan bahwa keindahan itu adalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda.
2. Teori Obyektif, yang mengatakan bahwa keindahan itu memang ada dan melekat pada suatu benda.Dalam Alqur’an terdapat juga ayat-ayat yang mengisyaratkan kedua teori tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut :- Q.S. Fathir (35) : 27-28 yang artinya :“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam warnanya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada pula yang hitam pekat.”“Dan demikian pula di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya. Sesung-guhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ”Pada ayat-ayat di atas terlihat betapa ciptaan-ciptaan Allah itu mempunyai nilai keindahan yang melekat pada dirinya sendiri (obyektif). Ayat-ayat tersebut melukiskan bagaimana tumbuhan, hewan, gunung, dan manusia mempunyai warna-warni yang beraneka ragam sehingga dapat membangkitkan rasa keindahan (estetis) bagi orang yang mengamatinya. Kemudian pada ayat-ayat lain dilukiskan juga bagaimana pada ciptaan Allah itu terdapat keseimbangan atau keharmonisan yang menjadi salah satu syarat bagi sesuatu yang disebut indah atau berseni. (lihat Q.S. Al-Hijr (15) : 19, Al-Mulk (67) : 3-5, At-Taghabun (64) : 3, As-Sajdah (32) : 7, Al-A’raf (7) : 11, Ali Imran (3) : 6, Al-Mu’minun (18) : 14, dll. )Kiranya sudah jelaslah bahwa keindahan sebagai sesuatu yang berada di luar diri manusia (sbg. Pengamat keindahan) diakui secara tersirat di dalam Al-Qur’an.Adapun ayat-ayat yang menyiratkan teori subyektif, misalnya ayat-ayat sebagai berikut :- Q.S. An-Nahl (16) : 5-6 yang artinya :“Dan Allah telah menciptakan binatang ternak untukmu, padanya terdapat bulu yang menghangatkan, dan berbagai manfaat serta sebahagiannya kamu makan. Dan kamu daripadanya memperoleh “kesan keindahan” ketika kamu menggiringnya ke kandang dan ketika melepaskannya ke penggembalaan”- Q.S. An-Nahl (16) : 8, yang artinya :“Dan Allah telah menciptakan kuda, bigal dan keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya sebagai perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.”Pada dua ayat pertama terlihat bagaimana keindahan itu (kata “jamalun”) dilukiskan sebagai pandangan / kesan yang muncul dari diri manusia setelah mengamati sesuatu. Selanjutnya pada ayat di bagian kedua dilukiskan bagaimana binatang seperti kuda atau keledai dapat jadi perhiasan bagi manusia. Kata perhiasan tentunya ditujukan bagi sesuatu yang mempunyai nilai seni / keindahan. Padahal tidak semua orang dapat menikmati atau menghayati nilai keindahan pada seekor kuda. Jadi dengan demikian keindahan itu bukan sesuatu yang ada pada diri seekor kuda, tapi berada pada diri seseorang yang menikmati kuda itu.Dari dua teori di atas yang masing-masing secara tidak langsung didukung ayat-ayat Al-Qur’an maka rumusan tentang bagaimana sesungguhnya hakikat seni atau keindahan itu, dalam Islam akhirnya dikembalikan kepada tingkat apresiasi manusia sendiri terhadap Islam, jika Islam memang mau dijadikan sebagai “kaca mata pandang”-nya..Perlu ditegaskan di sini bahwa Islam sebagai agama yang mengandung ajaran-ajaran aqidah, akhlak, dan syari’ah, senantiasa mengukur segala sesuatu, baik itu benda maupun kegiatan, dengan ketiga aspek di atas. Demikian pula halnya dengan ukuran tentang nilai seni atau nilai estetis dalam Islam, maka pertimbangan moral, aqidah dan syari’at Islam tetap akan selalu menjadi patokan.Maka seorang muslim dengan masing-masing kapasitasnya dalam mempelajari, meyakini dan menghayati ajaran Islamnya dituntut untuk konsisten dan bersikap jujur terhadap keyakinan- nya sendiri. Bukankah Allah juga memberi opsi “siapa yang mau beriman, ya berimanlah, dan siapa yang mau ingkar, yang ingkarilah !”Berdasarkan uraian di atas, maka Islam sebetulnya telah mengkonsep seni dalam wilayah ijtihadiyah (thinkable). Dan di antara prinsip-prinsip ijtihad adalah : ilmu, niat, totalitas, kearifan dalam membaca kompleksitas. Wallahu a’lam. (Asep Hilman Yahya, S. Ag.)
REFLEKSI DI BALIK KURSI TERBALIK
....................................... PLESBEK
Setelah para elit partai berjibaku untuk meraih kursi di parlemen, kini giliran para pelaku dunia pendidikan yang mempermasalahkan tentang “kursi”. Mungkin kita masih ingat, waktu belajar menulis angka-angka kita diajari guru bagaimana menulis sebuah angka yang bentuknya seperti “kursi terbalik”, itulah angka empat. Dan kita juga mungkin pernah diajari menulis angka tiga yang diasosiasikan dengan “monyet sedang duduk”, dan seterusnya. Bapak atau ibu guru yang mengajarkan menulis angka-angka dengan mengasosiasikannya terhadap sesuatu yang relatif sudah dikenali muridnya, tentu dengan tujuan untuk mempercepat proses pemahaman bagi anak didiknya. Meskipun memang pengasosiasian ini jadi tidak efektif manakala sang murid belum mengenal kursi, monyet, angsa, dan sebagainya yang dijadikan benda asosiasinya.
Pro-kontra terhadap kebijakan Mendiknas tentang nilai minimum kelulusan siswa sekolah lanjutan ini sesungguhnya menjadi cermin besar untuk berkaca : serendah apakah mutu dunia pendidikan bangsa kita. Mungkin kita belum bisa mengukur dengan ungkapan “setinggi apa” karena angka empat itu terlalu rendah jika dibandingkan dengan angka delapan apalagi dengan angka sepuluh.
Sepintas lalu “kerendahan” itu bisa dilihat dari munculnya sikap-sikap pesimis “kalah sebelum bertanding” yang sebetulnya kurang pantas mengemuka dalam dunia pendidikan. Peribahasa mengatakan : “Takut salah itu sudah salah dan takut kalah itu sudah kalah”. Entah dari mana sikap ini pertama kali muncul, apakah dari para siswa atau orang tuanya, apakah dari para guru atau kepala sekolah, atau bahkan dari para politisi. Yang pasti meskipun sikap ini dilatarbelakangi alasan-alasan logis baik yang empiris maupun yang futuristis, namun sikap pesimistis tetap saja kurang produktif dalam dunia pendidikan, apalagi ketika ia terlambat muncul mengemuka di saat Ujian Nasional sudah di depan mata. Belum lagi jika kita melihat kisaran angka yang diperdebatkan, semakin jelaslah bahwa baik subyek pembuat kebijakan maupun obyeknya, sama-sama sedang “bermain” dalam wilayah pesimistik. Mengapa tidak sekalian saja memasang angka enam misalnya, jika pembuat kebijakan tidak dalam posisi pesimis.
Demikianlah kiranya jika permasalahan pendidikan ini muncul dengan kesendiriannya dan dipandang dalam kondisi bangsa yang yang sedang normal sehat wal afiat. Hanya saja bangsa ini sedang menderita gejala komplikasi yang sangat akut sehingga untuk mengobati satu penyakit perlu memperhatikan penyakit-penyakit yang lainnya. Apalagi jika para dokternya sendiri sedang sakit, perlu dokter lain yang sehat untuk menyembuhkan terlebih dahulu para dokter yang sakit itu agar bisa bekerja dengan baik.
Maka dari itu, persoalan utama yang dihadapi bangsa ini adalah bagaimana mencari dokter yang tidak sakit atau minimal yang agak sakit dimana penyakitnya itu tidak menular dan berbahaya. Jika dokter dimaksud sudah ditemukan kita berharap dia mampu mengobati gejala komplikasi yang diderita bangsa ini. Salah satu contohnya, dia mampu menindaklanjuti “tindakan medis” terhadap pasien yang tidak mampu menggambar “kursi terbalik” dengan resep berupa “tiket gratis” untuk mengikuti les menggambar selama tahun pelajaran yang akan datang.
Dalam konteks pemilu 2004, jika dokter yang kita cari itu adalah para capres yang akan dipilih pada tanggal 5 juli 2004 nanti, maka seyogianya kita memilih capres yang paling sedikit terlibat masalah-masalah yang menghambat tujuan reformasi di negeri kita ini. Dan jika kita kesulitan memilih sosok capres seperti itu, karena saat ini mereka sama-sama melakukan “penampakan” yang bagus, maka ada cara lain yang cukup mudah dan dapat dipertanggungjawabkan. Cara tersebut adalah dengan mengingat kembali transaksi reformasi yang pernah kita akadkan ketika bangsa kita hendak menjalani “bedah tumor politik” beberapa tahun yang lalu.
Kalau tidak salah, kita masih punya tagihan tanggungjawab dari beberapa dokter reformasi yang pernah melakukan pembedahan tumor politik di tubuh bangsa ini. Di antara mereka ada yang belum diberi kesempatan untuk memimpin dan menuntaskan proses pembedahan itu, mumpung saat ini masih ada di antara mereka yang siap bertanggungjawab. Ini adalah kesempatan emas yang terakhir, jika kesempatan ini tidak kita manfaatkan, maka dokter-dokter itu mungkin sudah sulit kita minta pertanggungjawabannya di masa yang akan datang. Tentang siapakah dokter-dokter itu, silakan buka arsip-arsip pemberitaan media massa selama pertengahan tahun 1998.
Akhirnya, kepada para pelajar saya mengucapkan selamat berjuang dengan penuh semangat optimisme. Jangan kalah sebelum bertanding, belajar dan berdo’alah agar bisa mempersembahkan lukisan “si kurus dan si gemuk” bagi Ibu Pertiwi yang masih terbaring di meja operasi, menunggu dokter bedah reformasi yang belum sempat mendapat giliran untuk bertanggungjawab. “You are today stars blinking in the sky, and tomorrow you’ll be the the sun”.
Tasikmalaya, 5 Mei 2004
Setelah para elit partai berjibaku untuk meraih kursi di parlemen, kini giliran para pelaku dunia pendidikan yang mempermasalahkan tentang “kursi”. Mungkin kita masih ingat, waktu belajar menulis angka-angka kita diajari guru bagaimana menulis sebuah angka yang bentuknya seperti “kursi terbalik”, itulah angka empat. Dan kita juga mungkin pernah diajari menulis angka tiga yang diasosiasikan dengan “monyet sedang duduk”, dan seterusnya. Bapak atau ibu guru yang mengajarkan menulis angka-angka dengan mengasosiasikannya terhadap sesuatu yang relatif sudah dikenali muridnya, tentu dengan tujuan untuk mempercepat proses pemahaman bagi anak didiknya. Meskipun memang pengasosiasian ini jadi tidak efektif manakala sang murid belum mengenal kursi, monyet, angsa, dan sebagainya yang dijadikan benda asosiasinya.
Pro-kontra terhadap kebijakan Mendiknas tentang nilai minimum kelulusan siswa sekolah lanjutan ini sesungguhnya menjadi cermin besar untuk berkaca : serendah apakah mutu dunia pendidikan bangsa kita. Mungkin kita belum bisa mengukur dengan ungkapan “setinggi apa” karena angka empat itu terlalu rendah jika dibandingkan dengan angka delapan apalagi dengan angka sepuluh.
Sepintas lalu “kerendahan” itu bisa dilihat dari munculnya sikap-sikap pesimis “kalah sebelum bertanding” yang sebetulnya kurang pantas mengemuka dalam dunia pendidikan. Peribahasa mengatakan : “Takut salah itu sudah salah dan takut kalah itu sudah kalah”. Entah dari mana sikap ini pertama kali muncul, apakah dari para siswa atau orang tuanya, apakah dari para guru atau kepala sekolah, atau bahkan dari para politisi. Yang pasti meskipun sikap ini dilatarbelakangi alasan-alasan logis baik yang empiris maupun yang futuristis, namun sikap pesimistis tetap saja kurang produktif dalam dunia pendidikan, apalagi ketika ia terlambat muncul mengemuka di saat Ujian Nasional sudah di depan mata. Belum lagi jika kita melihat kisaran angka yang diperdebatkan, semakin jelaslah bahwa baik subyek pembuat kebijakan maupun obyeknya, sama-sama sedang “bermain” dalam wilayah pesimistik. Mengapa tidak sekalian saja memasang angka enam misalnya, jika pembuat kebijakan tidak dalam posisi pesimis.
Demikianlah kiranya jika permasalahan pendidikan ini muncul dengan kesendiriannya dan dipandang dalam kondisi bangsa yang yang sedang normal sehat wal afiat. Hanya saja bangsa ini sedang menderita gejala komplikasi yang sangat akut sehingga untuk mengobati satu penyakit perlu memperhatikan penyakit-penyakit yang lainnya. Apalagi jika para dokternya sendiri sedang sakit, perlu dokter lain yang sehat untuk menyembuhkan terlebih dahulu para dokter yang sakit itu agar bisa bekerja dengan baik.
Maka dari itu, persoalan utama yang dihadapi bangsa ini adalah bagaimana mencari dokter yang tidak sakit atau minimal yang agak sakit dimana penyakitnya itu tidak menular dan berbahaya. Jika dokter dimaksud sudah ditemukan kita berharap dia mampu mengobati gejala komplikasi yang diderita bangsa ini. Salah satu contohnya, dia mampu menindaklanjuti “tindakan medis” terhadap pasien yang tidak mampu menggambar “kursi terbalik” dengan resep berupa “tiket gratis” untuk mengikuti les menggambar selama tahun pelajaran yang akan datang.
Dalam konteks pemilu 2004, jika dokter yang kita cari itu adalah para capres yang akan dipilih pada tanggal 5 juli 2004 nanti, maka seyogianya kita memilih capres yang paling sedikit terlibat masalah-masalah yang menghambat tujuan reformasi di negeri kita ini. Dan jika kita kesulitan memilih sosok capres seperti itu, karena saat ini mereka sama-sama melakukan “penampakan” yang bagus, maka ada cara lain yang cukup mudah dan dapat dipertanggungjawabkan. Cara tersebut adalah dengan mengingat kembali transaksi reformasi yang pernah kita akadkan ketika bangsa kita hendak menjalani “bedah tumor politik” beberapa tahun yang lalu.
Kalau tidak salah, kita masih punya tagihan tanggungjawab dari beberapa dokter reformasi yang pernah melakukan pembedahan tumor politik di tubuh bangsa ini. Di antara mereka ada yang belum diberi kesempatan untuk memimpin dan menuntaskan proses pembedahan itu, mumpung saat ini masih ada di antara mereka yang siap bertanggungjawab. Ini adalah kesempatan emas yang terakhir, jika kesempatan ini tidak kita manfaatkan, maka dokter-dokter itu mungkin sudah sulit kita minta pertanggungjawabannya di masa yang akan datang. Tentang siapakah dokter-dokter itu, silakan buka arsip-arsip pemberitaan media massa selama pertengahan tahun 1998.
Akhirnya, kepada para pelajar saya mengucapkan selamat berjuang dengan penuh semangat optimisme. Jangan kalah sebelum bertanding, belajar dan berdo’alah agar bisa mempersembahkan lukisan “si kurus dan si gemuk” bagi Ibu Pertiwi yang masih terbaring di meja operasi, menunggu dokter bedah reformasi yang belum sempat mendapat giliran untuk bertanggungjawab. “You are today stars blinking in the sky, and tomorrow you’ll be the the sun”.
Tasikmalaya, 5 Mei 2004
SHALATNYA RAKYAT DI PEMILU 2004
Shalatnya rakyat di Pemilu dua ribu empat
Banyak yang sempat, lumayan juga yang terlewat
Meski sangat terlambat,
maklumat hasil yang mencuat, banyak pihak yang menggugat.
Entah karena kucing yang kelewat penat,
Entah karena tikus pengerat yang kelewat kuat.
Yang pasti, rakyat akan tetap shalat
meski para modin baru mau berangkat diklat
Shalatnya rakyat di Pemilu dua ribu empat
Sepakat tentang rukun dan syarat
Silang pendapat tentang imam yang hendak didaulat
Shalat secara etimologis berarti “berdo’a untuk kebaikan”. Orang yang mendirikan shalat harus dilandasi niat yang tulus ikhlas karena Allah, dan dalam menunaikan shalat seseorang harus berada dalam kontrol kesadaran yang penuh sehingga segenap syarat dan rukunnya dapat dipenuhi sebagaimana mestinya. Dalam ajaran Islam, untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan tidak cukup hanya dengan berdo’a, tapi harus disertai usaha yang optimal, maksimal dan halal, sehingga adagiumnya Machiavelli “het doel heilight de midellen” tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
Di tengah berbagai aktifitas sehari-hari, shalat pun jangan sampai terlupakan, sehingga peran para modin relatif dibutuhkan guna mengingatkan para hamba Allah untuk menunaikan kewajibannya.
Seandainya pemilu legislatif yang telah kita laksanakan kemarin adalah pemilu yang diwarnai semangat do’a dan ikhtiarnya shalat. Maka kita berharap semoga para caleg yang terpilih, nantinya akan menjadi para modin yang siap mengabdikan dirinya mulai dari mesjid-mesjid agung sampai mesjid negara. Semoga lantang dan merdunya suara mereka yang pernah berkumandang di arena-arena kampanye kemarin, akan tetap bergema menyerukan keagungan Ilahi, keshalihan individual, dan kejayaan bersama, ketika mereka telah berdiri di atas menara-menara. Dan dalam menjalankan tugasnya, semoga merekapun sadar akan godaan dan tantangan yang menuntut kesiapan mental yang prima. Siap stand by di tempat kerja dan hidup bersahaja. Siap meng-“adzani” siapa saja tanpa takut terjatuh dari menara. Dan tentunya siap melakukan shalat berjamaah bersama orang-orang yang diserunya.
Dari pemilu yang sudah-sudah, banyak pengalaman telah mendera kita. Kita mungkin pernah kecolongan, ketika beberapa di antara para modin terpilih itu jadi bisu dan tuli, tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Ada yang karena tidak betah di mesjid, atau karena takut terjatuh dari menara, atau malah dikarenakan sibuk dengan proyek-proyek pengadaan sarana dan pra-sarana mesjid. Atau ada juga yang tetap lantang mengumandangkan adzan, tapi acapkali lebih cepat atau lebih lambat dari jadwal yang semestinya. Atau bahkan di antara mereka ada yang mengurangi jam kerjanya karena ada sementara pihak yang merasa “terganggu” dengan kumandang adzan, terutama oleh adzan ketika matahari terbenam di ufuk Barat.
“Belajar dari pengalaman”. Itulah mungkin sebuah ungkapan klasik yang fasih diucapkan orang namun sulit untuk dilaksanakan. Dari kenyataan pemilu yang baru saja berlalu hanya sedikit sekali yang mampu atau mau belajar dari pemilu lima tahun yang lalu. Sejak proses persiapan sampai proses pengumuman hasilnya, baik pemerintah maupun rakyat, kebanyakan masih “belajar mengalami” dan belum “belajar dari pengalaman” alias trial and error forever.
Sebagai contoh, kurang-lebih seminggu setelah hari pemungutan suara, beberapa elit partai di Jakarta sana sudah pada kebakaran jenggot menunggu dan melihat publikasi perolehan suara yang merupakan bagian dari hasil kerja teknologi informasi (TI) yang digunakan oleh KPU. Ada yang tidak percaya, ada yang minta dihentikan saja, dan berbagai reaksi sumbang lainnya. Padahal kejadian seperti ini pernah terjadi lima tahun yang lalu, dan lima tahun yang lalu pun sudah disadari kurangnya kesiapan SDM pengelola pemilu terutama petugas di TPS-TPS yang merupakan titik awal proses pemungutan suara yang mereka tunggu-tunggu itu. Di sini, perlu kiranya dipertanyakan seberapa besarkah peran mereka selama lima tahun kemarin dalam mendidik atau melatih masyarakat, minimal mengajari bagaimana menjadi petugas yang baik dan benar di TPS-TPS, apalagi pemilu kemarin secara teknis administratif banyak hal yang baru.
Secara kebetulan, penulis, dalam pemilu legislative kemarin mendapat tugas sebagai supervisor entry data di sebuah kecamatan di kabupaten Tasikmalaya. Proses entry data baru mulai dapat dilakukan pada tanggal 5 April 2004, pukul 20.45 WIB, ketika form C1-TI secara berangsur mulai kami terima. Data itupun baru dapat dientry jika sudah tidak ada lagi masalah. Masalahnya cukup beragam, ada kesalahan menjumlah, ada perolehan suara caleg yang melebihi perolehan suara partai, ada calon DPD yang nyata-nyata mengundurkan diri mendapat suara atau partai tanpa caleg yang suaranya masih dimasukkan dalam form rekapitulasi, dan masalah-masalah lainnya. Ada pula keganjilan ketika 18 prosen surat suara dari kurang lebih 21.200 lembar surat suara yang diterima semua TPS di kecamatan tersebut dinyatakan rusak dalam berita acara, sementara sisa surat suara hanya 0,7 prosen saja. Pengiriman form C1-TI pun - melihat keterlambatannya – sepertinya tidak semuanya langsung dikirim dari TPS ke PPK sebagaimana dalam surat edaran dari KPU, tetapi mungkin sempat mampir dulu di PPS. Masalah-masalah serupa, hampir semuanya dialami juga oleh teman-teman kami yang bertugas di kecamatan-kecamatan lainnya.
Dalam hal pengawasan, meskipun sudah ada mekanisme yang telah ditentukan, dalam pelaksanaannya masih banyak celah-celah yang membuka kesempatan bagi oknum-oknum tertentu untuk berlaku tidak jujur, terutama setelah proses penghitungan sampai pengiriman hasilnya ke tingkat PPK. Tidak sedikit para saksi yang kurang jeli atau memang tidak tahu bagaimana seharusnya menulisi berita acara dan apa yang ditulis di dalamnya. Beberapa form C1-TI yang datanya dientry ke komputer ada yang ditulis dengan pensil disertai bekas hapusan di sana-sini, atau ditulis dengan ballpoint di atas sapuan tipp-ex.
Itulah sekilas pengalaman penulis ketika bertugas di suatu daerah yang hanya berjarak kurang-lebih 35 kilometer dari jantung kota Tasikmalaya. Yang terlintas dalam hati dan pikiran ketika mengetahui keterbatasan-keterbatasan seperti itu, adalah keterbatasan-keterbatasan lain yang bisa jadi lebih parah di peloksok-peloksok terpencil di belantara Nusantara ini.
Sementara itu pusat data KPU di Jakarta sana ibarat sebuah warung nasi. Para elite partai tengah menunggu hidangan nasi liwet yang pernah mereka pesan sejak masa kampanye beberapa hari yang lalu. Karena mungkin sudah terbiasa dengan fast food service, pesanan yang agak terlambat dihidangkan itu hampir saja dibatalkan karena ternyata tidak sesuai dengan menu pesanan mereka. Padahal ada yang sudah lama mereka lupakan, mereka lupa bahwa sawah dan ladang sudah jarang, anak-anak petani banyak yang tidak mewarisi keahlian orang tua mereka, sampai-sampai tidak bisa membedakan antara butir-butir beras dengan butir-butir pupuk urea.
Dalam konteks yang lain, belajar dari pengalaman pun bisa saja tidak memberikan dampak perubahan yang berarti. Yaitu ketika sebuah pengalaman hanya bersifat semu sebagai hasil dari sebuah rekayasa pembodohan masal.
Sebuah stasiun televisi pernah menayangkan kilasan sejarah para pemimpin bangsa ini yang menerangkan bahwa sebelum mereka duduk di kursi kepemimpinan, mereka terlebih dahulu mengalami suatu penderitaan dengan beraneka ragam variasinya. Penderitaan tersebut kemudian berbuah simpati rakyat. Dan ketika simpati itu mengalir dalam arus demokrasi, jadilah ia sebuah perahu yang mengantar sang teraniaya ke muara kekuasaan. Sayangnya di muara kekuasaan itu, sang teraniaya yang telah berhasil menjadi nakhoda terkadang lupa daratan. Perahu tidak pernah mengalami proses renovasi yang serius, sementara beban muatan semakin berat, akhirnya ia dan perahunya pun karam.
Episode timbul dan tenggelamnya perahu simpati ini sepertinya telah menjadi sebentuk pola hubungan antara rakyat dan pemimpinnya di negara demokrasi yang unik ini. Dipikulnya amanat penderitaan rakyat oleh pemimpin yang berhasil bangkit dari lembah derita, ternyata tidak kunjung mampu mengangkat rakyat dari kubangan deritanya. Adakah ini akibat dari pasal konstitusi yang berbunyi, “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, yang diinterpretasi secara analogis dengan memelihara atau beternak ayam dimana keberhasilan sang peternak ditunjukkan dengan peningkatan kuantitas ternak peliharaannya, meski dengan modal pinjaman dari sana-sini. Ketika jumlah ternak tidak lagi terimbangi oleh persediaan pakan ternak yang produk impor itu, dengan mudahnya ternak dijual atau digadaikan. Dan tidak perlu heran jika di antara ternak-ternak itu hanya sebagian kecil saja yang protes atau kabur ketika menyadari dirinya akan dijual, digadaikan atau bahkan dimusnahkan oleh sang peternak.
Alhasil, bagi kebanyakan rakyat yang oleh sementara pihak - yang juga rakyat – dikatakan tengah menderita, istilah “penderitaan” sepertinya sudah kehilangan maknanya yang signifikan. Mereka sudah sedemikian terlatih bahkan terdidik untuk bisa menikmati penderitaan ketimbang untuk berusaha keluar dari penderitaan. Dan itulah barangkali aset kekayaan bangsa kita yang masih tersisa dan patut disyukuri terutama oleh para politisi busuk sejak tahun 1945 sampai saat ini -- aset sumber daya manusia yang kurang familiar dengan ungkapan “terjajah oleh bangsa sendiri”, siap dijual, digadaikan, bahkan dimusnahkan, asal oleh saudara sebangsa--. Tidak jadi soal apakah saudara sebangsa itu dalam posisinya sebagai suami, istri, anak, orang tua, pemuka agama, pemuka masyarakat, ketua RT sampai kepala negara, anggota dewan rumah ibadat sampai dewan perwakilan rakyat, pemimpin partai, LSM, atau ormas-ormas. Tidak juga jadi masalah apakah saudara sebangsanya itu dalam posisinya sebagai koruptor, bandar judi, bandar narkoba, germo, mucikari, gembong residivis, atau hanya preman kampung. Soalnya, jangankan untuk belajar dari pengalaman, untuk belajar saja kebanyakan rakyat masih harus bermimpi dulu jadi wakil rakyat yang berani meningkatkan anggaran pendidikan dalam RAPBN.
Jika pepatah mengatakan, “Ora et Labora”, maka sesungguhnya bangsa ini baru sebagian kecil saja yang berkesempatan belajar, sementara sisanya hanya baru bisa berdo’a dan berdo’a. Oleh sebab itu wajar jika kebanyakan rakyat yang “belum terpelajar”, dengan bersahaja baru bisa bersuara :
”Kami merasa nyaman dengan kemampuan kami yang hanya bisa berdo’a, dan kami merasa lebih mudah mencerna bahasa-bahasa mereka yang sekelas dengan kami. Do’a kami yang sering tidak terkabul memang kami sadari, karena mungkin Tuhan sering tersinggung oleh sikap kami. Dalam kefakiran yang menenggelamkan kesabaran, kami sering menitipkan do’a lewat wakil-wakil pilihan kami yang tentunya bersedia memberikan setetes prosentase pengabulan awal dari selautan prosentase do’a kami. Bahkan sebelum do’a kami panjatkan di waktu dluha, pengabulan awal itu sudah turun di saat fajar. Dan ketika Tuhan mengabulkan selautan prosentase do’a kami, wabah amnesia lalu menjangkiti kami dan wakil-wakil pilihan kami, sehingga pengabulan lanjutan dari do’a yang pernah kami titipkan dulu, sudah terlupakan”.
Mereka juga barangkali wajar jika merasa tidak berurusan dengan konsekuensi logis beban piutang nasional sebanyak kira-kira Rp. 8 juta per kapita itu. Mana ada “ayam” yang peduli dengan utang peternaknya, atau merasa malu jika peternakan tempat mereka hidup menempati peringkat yang signifikan dalam hal budidaya korupsi. Untuk kesadaran dan kepedulian nasional itu, perlu proses evolusi “chicken being humanization” yang memakan waktu cukup lama, sebanding dengan lamanya proses “human being chickenization”.
Dalam ke-gharim-an dan ke-muflish-an bangsa ini, jika rasa heran sudah tidak punya tempat dalam panggung politik, maka rasa syukur patut kita panjatkan kepada Allah bahwasanya masih ada bahkan banyak anak bangsa ini yang masih “nekad” mengajukan diri untuk jadi pemimpin nasional. Sebuah fenomena yang dianggap tabu pada masa Orde Baru, sampai akhirnya di tahun ‘90-an ada anak bangsa yang “nekad” berani mengetuk-ngetuk pintu istana dengan “salam suksesinya”. Meski salam itu pada mulanya sering dijawab gonggongan anjing serta cercaan para simpatisan status quo, namun “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, salam itu ibarat virus, ia menembus dinding-dinding kampus dan merambat di kesadaran rakyat sampai akhirnya berhasil mendobrak terbuka pintu istana. Walhasil, kini banyak rakyat yang tanpa malu-malu lagi berkata : ”Jadi Presiden, siapa takut ?”. Maka untuk nikmat terbukanya pintu demokrasi itu, jika ungkapan terima kasih bagi sang pendobrak dikhawatirkan jadi door prize politik yang terlalu pragmatis, maka kita pun patut bersyukur kepada Allah yang telah berkenan mengirim dia sebagai door prize-Nya bagi kita.
Setelah bersyukur, tentunya kita berdo’a lagi semoga pemimpin nasional kita nanti menjadi imam yang betul-betul memahami makna seruan adzan yang kemudian dia aplikasikan dalam shalat berjama’ah yang khusyuk, penuh keikhlasan dan diapun faham betul kondisi jama’ah yang menjadi makmum di belakangnya. Sebab dalam shalat berjamaah, hakikat mengikuti imam itu bukan karena taat atau takut kepada sang imam, tapi semata-mata karena taat kepada Allah SWT. Demikian pula jika sang imam melakukan kesalahan, ada prosedur yang jelas untuk mengoreksinya, tanpa merusak atau membubarkan kelangsungan berjamaahnya sendiri.
Selanjutnya kita juga perlu berdo’a bagi kita sendiri, terutama do’a agar kita diberi kekuatan ekstra dalam menghadapi kenyataan apapun yang akan terjadi nanti sebagai akibat dari ketetapan hati kita untuk memilih atau tidak memilih pemimpin nasional kita. Sebab, meski era kita ini adalah era informasi, namun tetap saja kita berada dalam relativitas keterbatasan dalam mengetahui secara memadai jati diri para calon pemimpin yang hendak kita pilih, bahkan bisa juga informasi yang kita terima itu bertolak belakang dengan kenyataannya. Apalagi jika uang berikut berbagai macam penjelmaannya sudah ikut berbicara, dengan setting krisis ekonomi yang kita hadapi, mungkin berita yang tertulis di media-media cetak itu hanya setahi kuku saja bobotnya dibandingkan dengan angka nominal yang tercetak di lembaran-lembaran atau lempengan-lempengan alat tukar tersebut, karena lebih simpel, efektif, dan tidak perlu susah-susah belajar membaca apalagi berpikir. Semua itu bisa mengakibatkan terjadinya salah pilih, dan kesalahan itu harus siap kita hadapi akibatnya minimal untuk lima tahun ke depan. Itupun jika jarum jam sejarah bangsa ini tidak diputar mundur oleh pemimpin kita nanti.
Akhirnya, beresonansi dengan Buya Syafii Maarif yang berusia hampir kepala tujuh (Republika, 27-04-2004), penulis sebagai seorang yang berusia baru kepala tiga, merasa wajib mengajak bangsa ini untuk berenang dalam dzikir dan do’a, menepi di antara khauf dan raja’, tentunya setelah kita berusaha optimal dan maksimal dalam menunaikan “ibadah mencari pemimpin” dalam pemilu 2004 ini.
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Arrahmanirrahim, maliki yaumiddin,
iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in,
Ihdinash shiratal mustaqim, shiratal ladzina an’amta ‘alaihim,
Ghairil maghdlubi ‘alaihim, waladl dla_llin.
Semoga ….
_____________________________
Banyak yang sempat, lumayan juga yang terlewat
Meski sangat terlambat,
maklumat hasil yang mencuat, banyak pihak yang menggugat.
Entah karena kucing yang kelewat penat,
Entah karena tikus pengerat yang kelewat kuat.
Yang pasti, rakyat akan tetap shalat
meski para modin baru mau berangkat diklat
Shalatnya rakyat di Pemilu dua ribu empat
Sepakat tentang rukun dan syarat
Silang pendapat tentang imam yang hendak didaulat
Shalat secara etimologis berarti “berdo’a untuk kebaikan”. Orang yang mendirikan shalat harus dilandasi niat yang tulus ikhlas karena Allah, dan dalam menunaikan shalat seseorang harus berada dalam kontrol kesadaran yang penuh sehingga segenap syarat dan rukunnya dapat dipenuhi sebagaimana mestinya. Dalam ajaran Islam, untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan tidak cukup hanya dengan berdo’a, tapi harus disertai usaha yang optimal, maksimal dan halal, sehingga adagiumnya Machiavelli “het doel heilight de midellen” tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
Di tengah berbagai aktifitas sehari-hari, shalat pun jangan sampai terlupakan, sehingga peran para modin relatif dibutuhkan guna mengingatkan para hamba Allah untuk menunaikan kewajibannya.
Seandainya pemilu legislatif yang telah kita laksanakan kemarin adalah pemilu yang diwarnai semangat do’a dan ikhtiarnya shalat. Maka kita berharap semoga para caleg yang terpilih, nantinya akan menjadi para modin yang siap mengabdikan dirinya mulai dari mesjid-mesjid agung sampai mesjid negara. Semoga lantang dan merdunya suara mereka yang pernah berkumandang di arena-arena kampanye kemarin, akan tetap bergema menyerukan keagungan Ilahi, keshalihan individual, dan kejayaan bersama, ketika mereka telah berdiri di atas menara-menara. Dan dalam menjalankan tugasnya, semoga merekapun sadar akan godaan dan tantangan yang menuntut kesiapan mental yang prima. Siap stand by di tempat kerja dan hidup bersahaja. Siap meng-“adzani” siapa saja tanpa takut terjatuh dari menara. Dan tentunya siap melakukan shalat berjamaah bersama orang-orang yang diserunya.
Dari pemilu yang sudah-sudah, banyak pengalaman telah mendera kita. Kita mungkin pernah kecolongan, ketika beberapa di antara para modin terpilih itu jadi bisu dan tuli, tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Ada yang karena tidak betah di mesjid, atau karena takut terjatuh dari menara, atau malah dikarenakan sibuk dengan proyek-proyek pengadaan sarana dan pra-sarana mesjid. Atau ada juga yang tetap lantang mengumandangkan adzan, tapi acapkali lebih cepat atau lebih lambat dari jadwal yang semestinya. Atau bahkan di antara mereka ada yang mengurangi jam kerjanya karena ada sementara pihak yang merasa “terganggu” dengan kumandang adzan, terutama oleh adzan ketika matahari terbenam di ufuk Barat.
“Belajar dari pengalaman”. Itulah mungkin sebuah ungkapan klasik yang fasih diucapkan orang namun sulit untuk dilaksanakan. Dari kenyataan pemilu yang baru saja berlalu hanya sedikit sekali yang mampu atau mau belajar dari pemilu lima tahun yang lalu. Sejak proses persiapan sampai proses pengumuman hasilnya, baik pemerintah maupun rakyat, kebanyakan masih “belajar mengalami” dan belum “belajar dari pengalaman” alias trial and error forever.
Sebagai contoh, kurang-lebih seminggu setelah hari pemungutan suara, beberapa elit partai di Jakarta sana sudah pada kebakaran jenggot menunggu dan melihat publikasi perolehan suara yang merupakan bagian dari hasil kerja teknologi informasi (TI) yang digunakan oleh KPU. Ada yang tidak percaya, ada yang minta dihentikan saja, dan berbagai reaksi sumbang lainnya. Padahal kejadian seperti ini pernah terjadi lima tahun yang lalu, dan lima tahun yang lalu pun sudah disadari kurangnya kesiapan SDM pengelola pemilu terutama petugas di TPS-TPS yang merupakan titik awal proses pemungutan suara yang mereka tunggu-tunggu itu. Di sini, perlu kiranya dipertanyakan seberapa besarkah peran mereka selama lima tahun kemarin dalam mendidik atau melatih masyarakat, minimal mengajari bagaimana menjadi petugas yang baik dan benar di TPS-TPS, apalagi pemilu kemarin secara teknis administratif banyak hal yang baru.
Secara kebetulan, penulis, dalam pemilu legislative kemarin mendapat tugas sebagai supervisor entry data di sebuah kecamatan di kabupaten Tasikmalaya. Proses entry data baru mulai dapat dilakukan pada tanggal 5 April 2004, pukul 20.45 WIB, ketika form C1-TI secara berangsur mulai kami terima. Data itupun baru dapat dientry jika sudah tidak ada lagi masalah. Masalahnya cukup beragam, ada kesalahan menjumlah, ada perolehan suara caleg yang melebihi perolehan suara partai, ada calon DPD yang nyata-nyata mengundurkan diri mendapat suara atau partai tanpa caleg yang suaranya masih dimasukkan dalam form rekapitulasi, dan masalah-masalah lainnya. Ada pula keganjilan ketika 18 prosen surat suara dari kurang lebih 21.200 lembar surat suara yang diterima semua TPS di kecamatan tersebut dinyatakan rusak dalam berita acara, sementara sisa surat suara hanya 0,7 prosen saja. Pengiriman form C1-TI pun - melihat keterlambatannya – sepertinya tidak semuanya langsung dikirim dari TPS ke PPK sebagaimana dalam surat edaran dari KPU, tetapi mungkin sempat mampir dulu di PPS. Masalah-masalah serupa, hampir semuanya dialami juga oleh teman-teman kami yang bertugas di kecamatan-kecamatan lainnya.
Dalam hal pengawasan, meskipun sudah ada mekanisme yang telah ditentukan, dalam pelaksanaannya masih banyak celah-celah yang membuka kesempatan bagi oknum-oknum tertentu untuk berlaku tidak jujur, terutama setelah proses penghitungan sampai pengiriman hasilnya ke tingkat PPK. Tidak sedikit para saksi yang kurang jeli atau memang tidak tahu bagaimana seharusnya menulisi berita acara dan apa yang ditulis di dalamnya. Beberapa form C1-TI yang datanya dientry ke komputer ada yang ditulis dengan pensil disertai bekas hapusan di sana-sini, atau ditulis dengan ballpoint di atas sapuan tipp-ex.
Itulah sekilas pengalaman penulis ketika bertugas di suatu daerah yang hanya berjarak kurang-lebih 35 kilometer dari jantung kota Tasikmalaya. Yang terlintas dalam hati dan pikiran ketika mengetahui keterbatasan-keterbatasan seperti itu, adalah keterbatasan-keterbatasan lain yang bisa jadi lebih parah di peloksok-peloksok terpencil di belantara Nusantara ini.
Sementara itu pusat data KPU di Jakarta sana ibarat sebuah warung nasi. Para elite partai tengah menunggu hidangan nasi liwet yang pernah mereka pesan sejak masa kampanye beberapa hari yang lalu. Karena mungkin sudah terbiasa dengan fast food service, pesanan yang agak terlambat dihidangkan itu hampir saja dibatalkan karena ternyata tidak sesuai dengan menu pesanan mereka. Padahal ada yang sudah lama mereka lupakan, mereka lupa bahwa sawah dan ladang sudah jarang, anak-anak petani banyak yang tidak mewarisi keahlian orang tua mereka, sampai-sampai tidak bisa membedakan antara butir-butir beras dengan butir-butir pupuk urea.
Dalam konteks yang lain, belajar dari pengalaman pun bisa saja tidak memberikan dampak perubahan yang berarti. Yaitu ketika sebuah pengalaman hanya bersifat semu sebagai hasil dari sebuah rekayasa pembodohan masal.
Sebuah stasiun televisi pernah menayangkan kilasan sejarah para pemimpin bangsa ini yang menerangkan bahwa sebelum mereka duduk di kursi kepemimpinan, mereka terlebih dahulu mengalami suatu penderitaan dengan beraneka ragam variasinya. Penderitaan tersebut kemudian berbuah simpati rakyat. Dan ketika simpati itu mengalir dalam arus demokrasi, jadilah ia sebuah perahu yang mengantar sang teraniaya ke muara kekuasaan. Sayangnya di muara kekuasaan itu, sang teraniaya yang telah berhasil menjadi nakhoda terkadang lupa daratan. Perahu tidak pernah mengalami proses renovasi yang serius, sementara beban muatan semakin berat, akhirnya ia dan perahunya pun karam.
Episode timbul dan tenggelamnya perahu simpati ini sepertinya telah menjadi sebentuk pola hubungan antara rakyat dan pemimpinnya di negara demokrasi yang unik ini. Dipikulnya amanat penderitaan rakyat oleh pemimpin yang berhasil bangkit dari lembah derita, ternyata tidak kunjung mampu mengangkat rakyat dari kubangan deritanya. Adakah ini akibat dari pasal konstitusi yang berbunyi, “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, yang diinterpretasi secara analogis dengan memelihara atau beternak ayam dimana keberhasilan sang peternak ditunjukkan dengan peningkatan kuantitas ternak peliharaannya, meski dengan modal pinjaman dari sana-sini. Ketika jumlah ternak tidak lagi terimbangi oleh persediaan pakan ternak yang produk impor itu, dengan mudahnya ternak dijual atau digadaikan. Dan tidak perlu heran jika di antara ternak-ternak itu hanya sebagian kecil saja yang protes atau kabur ketika menyadari dirinya akan dijual, digadaikan atau bahkan dimusnahkan oleh sang peternak.
Alhasil, bagi kebanyakan rakyat yang oleh sementara pihak - yang juga rakyat – dikatakan tengah menderita, istilah “penderitaan” sepertinya sudah kehilangan maknanya yang signifikan. Mereka sudah sedemikian terlatih bahkan terdidik untuk bisa menikmati penderitaan ketimbang untuk berusaha keluar dari penderitaan. Dan itulah barangkali aset kekayaan bangsa kita yang masih tersisa dan patut disyukuri terutama oleh para politisi busuk sejak tahun 1945 sampai saat ini -- aset sumber daya manusia yang kurang familiar dengan ungkapan “terjajah oleh bangsa sendiri”, siap dijual, digadaikan, bahkan dimusnahkan, asal oleh saudara sebangsa--. Tidak jadi soal apakah saudara sebangsa itu dalam posisinya sebagai suami, istri, anak, orang tua, pemuka agama, pemuka masyarakat, ketua RT sampai kepala negara, anggota dewan rumah ibadat sampai dewan perwakilan rakyat, pemimpin partai, LSM, atau ormas-ormas. Tidak juga jadi masalah apakah saudara sebangsanya itu dalam posisinya sebagai koruptor, bandar judi, bandar narkoba, germo, mucikari, gembong residivis, atau hanya preman kampung. Soalnya, jangankan untuk belajar dari pengalaman, untuk belajar saja kebanyakan rakyat masih harus bermimpi dulu jadi wakil rakyat yang berani meningkatkan anggaran pendidikan dalam RAPBN.
Jika pepatah mengatakan, “Ora et Labora”, maka sesungguhnya bangsa ini baru sebagian kecil saja yang berkesempatan belajar, sementara sisanya hanya baru bisa berdo’a dan berdo’a. Oleh sebab itu wajar jika kebanyakan rakyat yang “belum terpelajar”, dengan bersahaja baru bisa bersuara :
”Kami merasa nyaman dengan kemampuan kami yang hanya bisa berdo’a, dan kami merasa lebih mudah mencerna bahasa-bahasa mereka yang sekelas dengan kami. Do’a kami yang sering tidak terkabul memang kami sadari, karena mungkin Tuhan sering tersinggung oleh sikap kami. Dalam kefakiran yang menenggelamkan kesabaran, kami sering menitipkan do’a lewat wakil-wakil pilihan kami yang tentunya bersedia memberikan setetes prosentase pengabulan awal dari selautan prosentase do’a kami. Bahkan sebelum do’a kami panjatkan di waktu dluha, pengabulan awal itu sudah turun di saat fajar. Dan ketika Tuhan mengabulkan selautan prosentase do’a kami, wabah amnesia lalu menjangkiti kami dan wakil-wakil pilihan kami, sehingga pengabulan lanjutan dari do’a yang pernah kami titipkan dulu, sudah terlupakan”.
Mereka juga barangkali wajar jika merasa tidak berurusan dengan konsekuensi logis beban piutang nasional sebanyak kira-kira Rp. 8 juta per kapita itu. Mana ada “ayam” yang peduli dengan utang peternaknya, atau merasa malu jika peternakan tempat mereka hidup menempati peringkat yang signifikan dalam hal budidaya korupsi. Untuk kesadaran dan kepedulian nasional itu, perlu proses evolusi “chicken being humanization” yang memakan waktu cukup lama, sebanding dengan lamanya proses “human being chickenization”.
Dalam ke-gharim-an dan ke-muflish-an bangsa ini, jika rasa heran sudah tidak punya tempat dalam panggung politik, maka rasa syukur patut kita panjatkan kepada Allah bahwasanya masih ada bahkan banyak anak bangsa ini yang masih “nekad” mengajukan diri untuk jadi pemimpin nasional. Sebuah fenomena yang dianggap tabu pada masa Orde Baru, sampai akhirnya di tahun ‘90-an ada anak bangsa yang “nekad” berani mengetuk-ngetuk pintu istana dengan “salam suksesinya”. Meski salam itu pada mulanya sering dijawab gonggongan anjing serta cercaan para simpatisan status quo, namun “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, salam itu ibarat virus, ia menembus dinding-dinding kampus dan merambat di kesadaran rakyat sampai akhirnya berhasil mendobrak terbuka pintu istana. Walhasil, kini banyak rakyat yang tanpa malu-malu lagi berkata : ”Jadi Presiden, siapa takut ?”. Maka untuk nikmat terbukanya pintu demokrasi itu, jika ungkapan terima kasih bagi sang pendobrak dikhawatirkan jadi door prize politik yang terlalu pragmatis, maka kita pun patut bersyukur kepada Allah yang telah berkenan mengirim dia sebagai door prize-Nya bagi kita.
Setelah bersyukur, tentunya kita berdo’a lagi semoga pemimpin nasional kita nanti menjadi imam yang betul-betul memahami makna seruan adzan yang kemudian dia aplikasikan dalam shalat berjama’ah yang khusyuk, penuh keikhlasan dan diapun faham betul kondisi jama’ah yang menjadi makmum di belakangnya. Sebab dalam shalat berjamaah, hakikat mengikuti imam itu bukan karena taat atau takut kepada sang imam, tapi semata-mata karena taat kepada Allah SWT. Demikian pula jika sang imam melakukan kesalahan, ada prosedur yang jelas untuk mengoreksinya, tanpa merusak atau membubarkan kelangsungan berjamaahnya sendiri.
Selanjutnya kita juga perlu berdo’a bagi kita sendiri, terutama do’a agar kita diberi kekuatan ekstra dalam menghadapi kenyataan apapun yang akan terjadi nanti sebagai akibat dari ketetapan hati kita untuk memilih atau tidak memilih pemimpin nasional kita. Sebab, meski era kita ini adalah era informasi, namun tetap saja kita berada dalam relativitas keterbatasan dalam mengetahui secara memadai jati diri para calon pemimpin yang hendak kita pilih, bahkan bisa juga informasi yang kita terima itu bertolak belakang dengan kenyataannya. Apalagi jika uang berikut berbagai macam penjelmaannya sudah ikut berbicara, dengan setting krisis ekonomi yang kita hadapi, mungkin berita yang tertulis di media-media cetak itu hanya setahi kuku saja bobotnya dibandingkan dengan angka nominal yang tercetak di lembaran-lembaran atau lempengan-lempengan alat tukar tersebut, karena lebih simpel, efektif, dan tidak perlu susah-susah belajar membaca apalagi berpikir. Semua itu bisa mengakibatkan terjadinya salah pilih, dan kesalahan itu harus siap kita hadapi akibatnya minimal untuk lima tahun ke depan. Itupun jika jarum jam sejarah bangsa ini tidak diputar mundur oleh pemimpin kita nanti.
Akhirnya, beresonansi dengan Buya Syafii Maarif yang berusia hampir kepala tujuh (Republika, 27-04-2004), penulis sebagai seorang yang berusia baru kepala tiga, merasa wajib mengajak bangsa ini untuk berenang dalam dzikir dan do’a, menepi di antara khauf dan raja’, tentunya setelah kita berusaha optimal dan maksimal dalam menunaikan “ibadah mencari pemimpin” dalam pemilu 2004 ini.
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Arrahmanirrahim, maliki yaumiddin,
iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in,
Ihdinash shiratal mustaqim, shiratal ladzina an’amta ‘alaihim,
Ghairil maghdlubi ‘alaihim, waladl dla_llin.
Semoga ….
_____________________________
Sabtu, 06 Oktober 2007
WASPADALAH
Waspadalah
by hillman
Ada kisah seorang perjaka
Berwajah tampan luar biasa
Godaan datang menghampirinya
Lewat rayuan wanita
Ketika jiwa terlena
Terbius napsu terperangkap pesona
Setan datang menyelinap
Tawarkan kenikmatan sesaat
Waspadalah !!
Julaikha istri bangsawan
Mengajak Yusuf berasyik-asyikan
Meskipun taat majikan
Namun Yusuf lebih takut akan
Adzab Tuhan
Gosip merebak Julaikha terdesak
Jadi pergunjingan para istri bangsawan
Lantas dia undang mereka dalam suatu perjamuan
Yusuf pun ditampilkan mereka pun kena batunya
Yusuf memanjatkan do'a
Demi keselamatan semua
Ia memilih penjara
Batu loncatan ke singgasana kemuliaan
Ketika punya pesona
Peliharalah dengan taqwa
Jangan disalahgunakan
Bisa berbahaya akibatnya
Waspadalah !!
Tuhan menciptakan manusia
dalam penampilan yang prima
Namun nista kan menimpa
jika taqwa tak menghiasinya
Jiwa ini tak akan terbebas
dari napsu dan hasrat manusia
yang seringkali menggiring jiwa
terjebak di lembah nista
Kecuali hasrat penuh kasih Tuhan
by hillman
Ada kisah seorang perjaka
Berwajah tampan luar biasa
Godaan datang menghampirinya
Lewat rayuan wanita
Ketika jiwa terlena
Terbius napsu terperangkap pesona
Setan datang menyelinap
Tawarkan kenikmatan sesaat
Waspadalah !!
Julaikha istri bangsawan
Mengajak Yusuf berasyik-asyikan
Meskipun taat majikan
Namun Yusuf lebih takut akan
Adzab Tuhan
Gosip merebak Julaikha terdesak
Jadi pergunjingan para istri bangsawan
Lantas dia undang mereka dalam suatu perjamuan
Yusuf pun ditampilkan mereka pun kena batunya
Yusuf memanjatkan do'a
Demi keselamatan semua
Ia memilih penjara
Batu loncatan ke singgasana kemuliaan
Ketika punya pesona
Peliharalah dengan taqwa
Jangan disalahgunakan
Bisa berbahaya akibatnya
Waspadalah !!
Tuhan menciptakan manusia
dalam penampilan yang prima
Namun nista kan menimpa
jika taqwa tak menghiasinya
Jiwa ini tak akan terbebas
dari napsu dan hasrat manusia
yang seringkali menggiring jiwa
terjebak di lembah nista
Kecuali hasrat penuh kasih Tuhan
_____________
Mau lihat Video Klipnya ?????
Klik gambar di atasMinggu, 16 September 2007
SERENADA BINGKAI PINANGAN
Baru sekitar satu bulan, Bu Rahmi menempati rumah di komplek dosen itu. Kegiatan hariannya di samping menjalankan bisnis butik yang baru saja membuka gerai baru di Kota Udang itu, masih seputar kegiatan beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Sebetulnya dia merasa agak canggung. Sebagai warga baru mestinya dialah yang menjadwalkan kunjungan shilaturrahmi ke rumah-rumah tetangganya di komplek itu. Namun karena kesibukannya dan juga kesibukan suaminya, jadwal itu tidak pernah teragendakan juga. Apalagi jika mengingat hari-hari selama sebulan ke belakang, sepertinya hampir separuh dari penghuni komplek itu pernah menyegaja berkunjung ke tempat kediamannya. Adapun Pak Fahmi, suaminya, sudah tiga bulan dikukuhkan sebagai rektor di universitas tempat para dosen yang juga tetangganya itu bekerja. Sebelumnya, dia bekerja sebagai pembantu rektor di universitas lain yang masih berada di bawah naungan yayasan yang sama. Kini dia tinggal di rumah dinas yang telah disiapkan oleh yayasan yang mengangkatnya. Ini berbeda dengan ketika dia masih bekerja di Bandung. Dia menempati rumah sendiri bersama istri dan putri tunggalnya yang belum lama lagi akan dilamar oleh jejaka idamannya. Sore itu, bu Rahmi dengan suaminya tengah duduk-duduk santai menikmati akhir pekan di rumah. “ Bu, kalau ada waktu, sabtu depan ada undangan buat ibu”. Pak Fahmi membuka percakapan. “ Memangnya undangan apa ?” Tanya bu Rahmi. “ Itu, acara wisuda semester genap. Kalau tidak salah, ibu kan belum pernah menghadiri acara-acara wisuda di tempat bapak”. “ Tumben kali ini ada undangan. Biasanya kan nggak pernah diundang” “ Ya…., ini sih karena teman-teman bapak di rektorat minta begitu.” “ Sabtu depan ya, sepertinya insyaallah bisa. Tapi rencana kita nengok si Nisa bagaimana, kan sabtu depan juga ?” Bu Rahmi teringat sebuah rencana. “ Oh iya.. ya. Tapi nggak apalah. Kita kan bisa ambil hari ahadnya saja dan nggak usah menginap”. “ Iya deh kalau begitu. Nanti ibu telpon si Nisa”. Bersama ibu-ibu yang lain, di hari sabtu itu bu Rahmi ikut terhanyut dalam suasana hidmat upacara wisuda. Tidak kurang dari seribu wisudawan dan wisudawati, terlihat khusyuk mengikuti upacara tersebut. Ingatan bu Rahmi melayang ke beberapa tahun yang silam ketika dia dengan jubah toganya tenggelam dalam lautan hitam wisudawan sesamanya. Mengucapkan ikrar sarjana dan dengan sabar menunggu antrian prosesi pemindahan kucir toganya sebagai tanda simbolik keabsahannya menyandang gelar sarjana ekonomi. Upacara berjalan lancar dari satu mata acara ke mata acara yang lain. Sampai ketika korps paduan suara selesai mengumandangkan lagu mars dan himne universitas tersebut, tanpa disengaja bu Rahmi membaca sebuah nama yang tertulis di buklet wisuda yang dipegangnya. Nama itu tertulis tepat di bawah judul lagu mars dan himne yang baru saja dikumandangkan. Membaca nama itu dia tertegun beberapa saat. Perasaannya mengatakan sepertinya dia pernah mengenal nama itu. Tapi di mana dan kapan, itulah yang menjadikan konsentrasinya melayang-layang menembus dimensi ruang dan waktu yang lain, di luar aula dan saat itu. “Bu Fahmi, katanya besok mau ke Bandung ya ?” Seseorang kedengaran bertanya. “Bu, Bu Fahmi…….” Suara itu berusaha masuk dalam konsentrasi Bu Rahmi. “Eh… iya, maaf. Ada apa Bu Umi..? Bu Rahmi tersadar dari lamunannya, dan balik bertanya kepada si empunya suara tadi yang ternyata Bu Umi. “Anu, Ibu sama Bapak jadi ke Bandung besok ?” Jawab Bu Umi dengan pertanyaannya. “Oh… iya. Insyaallah jadi. Maaf lho Bu Umi, tadi saya agak melamun.” “Ah..nggak apa-apa kok Bu…”. Di perjalanan pulang sampai tiba di rumahnya, nama itu masih mengganggu pikiran Bu Rahmi. Ia coba mengingat-ingat nama teman-teman kuliahnya yang rada-rada suka musik, tapi nama itu tidak juga ketemu. Lantas dicobanya juga mengingat-ingat lebih jauh ke masa-masa SMA dan SMP. Namun itupun tidak kunjung mempertemukannya dengan nama itu. “Halim… Halim… siapa kamu. Halim… Halim… siapa kamu. Halim…Halim…..”. “Bu…bu….Ibu, bangun bu. Ibu…bangun. Istighfar bu, istighfar…! Dengan agak kaget, Pak Fahmi terbangun dari tidurnya. Ia coba menyadarkan istrinya. “Astaghfirullahal adhim……astaghfirullahal adhim…..” Bu Rahmi tersadar. “Ada apa Bu,… Ibu kok mengigau memanggil-manggil nama Halim ?” Pak Fahmi mencoba bertanya ketika istrinya sudah kelihatan tenang. Selanjutnya Bu Rahmi pun menceritakan apa yang dialaminya tadi siang sejak upacara wisuda. Dan suaminya pun mengerti, meskipun ia sendiri belum bisa membantu memecahkan misteri nama itu. Sebagai rektor baru, Pak Fahmi memang belum sempat mengenal pencipta lagu mars dan himne universitas yang dipimpinnya. Mendengar lagunya saja baru kemarin. Dan yang pasti umur jabatannya pun jauh lebih muda dibandingkan dengan umur lagu-lagu itu. Keesokan harinya, sesuai rencana, mereka pun berangkat ke Bandung untuk menengok putri mereka, Nisa. Lebih dari sekedar untuk menengok Nisa, sebetulnya Bu Rahmi dan suaminya punya rencana yang lebih serius. Mereka bermaksud menjajagi hubungan putri mereka dengan jejaka idamannya. Sebab kira-kira dua minggu ke belakang, putri mereka mengabari bahwa dia belum lama ini mengenal seorang pria dan merasa terpikat olehnya. Kira-kira pukul sembilan pagi mereka tiba di tempat tujuan. Kedatangan mereka disambut putri mereka dan Bi Irah. “ Nisa, buat Bapa mah lebih cepat lebih baik. Yang penting kamu sendiri sudah yakin dengan pilihanmu.” Pak Fahmi mulai mengarahkan obrolan kangen mereka dengan topik yang lebih serius. “ Iya Nis, Ibu juga gitu. Eh, ngomong-ngomong arjunamu itu orang mana dan apa pekerjaannya ?” Bu Rahmi menyambung kalimat suaminya. “ Kang Dani itu aslinya orang Tasik, orang tuanya tinggal di sana. Di Bandung ini, dia bekerja di PT Ahad Komunika.” Jelas Nisa. “Memangnya dia sarjana tehnik gitu ?” Pak Fahmi menebak-nebak. “Bukan Pak. Kang Dani itu sarjana agama terus gelar masternya di bidang sosiologi”. “Kok bisa di sana?” Bu Rahmi penasaran. “Ah Ibu, di perusahaan itu kan ada HRD-nya, dan kang Dani jadi manajer di departemen itu. Oke khan Pak ?” Jawab Nisa sambil memancing komentar bapaknya. “Iya…iya. Terus kamu bisa kenal sama dia di mana?” Selidik Pak Fahmi. “Kenal pertamanya sih, di tempat dia bekerja. Waktu itu Nisa sedang presentasi desain untuk seragam karyawan PT AK. Kebetulan kang Dani ikut dalam meeting itu dan memberikan masukan-masukan untuk desain busana muslimahnya. Selanjutnya kita sempat ketemu lagi dua kali, itupun dua-duanya di mesjid PT AK. Yang satu tidak disengaja yang satunya lagi disengaja”. Papar Nisa. “Kok begitu. Maksudnya gimana”. Bu Rahmi tambah penasaran. “Iya, yang pertama ketika penandatanganan MOU. Kebetulan saat itu Nisa shalat dhuhur di sana dan ikut menyimak kultumnya kang Dani. Terus yang keduanya, karena kita sudah punya nomor HP masing-masing, kita pernah janjian ketemu lagi di sana juga pas istirahat. Terus…. ya gitu dech..kita banyak kontak lewat telepon.” “Dia pernah main ke sini Nis ?” Tanya Bu Rahmi. “Belum tuh, katanya dia mau ke sini kalau Nisa udah ngenalin kang Dani sama Ibu dan Bapak. Oh iya.. sebentar ya Bu.” Jawab Nisa sambil beranjak dari tempat duduknya menuju ke kamar. Tak lama kemudian dia keluar membawa PDA di genggamannya. “Ini lho Bu, Pak, fotonya”. Nisa memperlihatkan beberapa file foto Dani yang ia saving dalam PDA-nya. “Ganteng juga lho Pak, nih lihat… “. Komentar bu Rahmi sambil memperlihatkan tampilan foto itu kepada suaminya. Sementara Nisa kelihatan agak tersipu-sipu mendengarnya. “Kang Dani bilang…”. Lanjut Nisa. “Jika Ibu dan Bapak sudah mendapat gambaran yang cukup dari cerita Nisa dan foto-foto ini, dia bermaksud langsung melamar. Meskipun nanti Ibu dan Bapak belum tentu menerima lamarannya, kang Dani sudah siap”. Kata Nisa dengan tatapannya yang penuh harap. “Umurnya gimana Nis ?” Pak Fahmi kembali bertanya. “Kalau itu sih, hampir mirip dengan selisih umur antara Bapak dan Ibu. Nggak apa-apa khan Pak ?” Jawab Nisa semakin memperkuat harapannya. “Oke deh, kalau begitu Bapak titip pesan buat Dani-mu itu. Kapan saja dia siap untuk melamar, Bapak dan Ibu insyaallah siap. Iya kan Bu?” Balas Pak Fahmi sambil menoleh kepada istrinya. “ Iya…iya, gitu aja”. Bu Rahmi menyetujui. Pembicaraan itu mengalir lancar begitu saja sampai Bi Irah memberitahu mereka bahwa hidangan sudah siap disantap. Maka merekapun makan bersama. Bu Rahmi hampir saja lupa dengan sebuah nama yang sejak kemarin menyita pikirannya, jika saja Nisa tidak mengajak ibu dan bapaknya menonton sebuah VCD yang katanya ditemukan di gudang dan tidak terbawa ke Cirebon. VCD itu ternyata film dokumenter yang pernah diterima Bu Rahmi tiga puluh lima tahun yang silam dari seorang temannya ketika dia lulus dari bangku SMP Insan Taqwa di kota Tasikmalaya. Di sanalah Bu Rahmi pernah belajar selama satu tahun. Dia tidak menamatkan SMP-nya di sana, sebab ketika baru saja naik kelas dua, dia harus pindah bersama orang tuanya yang ditugaskan ke pulau Batam. Kualitas gambarnya masih lumayan untuk kepingan CD setua itu. Berkat hoby bu Rahmi waktu masih remaja, tidak kurang dari dua ribu keping CD berdiameter 12 sentimeteran masih terawat dengan baik dalam sebuah lemari khusus. Ada CD audio, VCD, CD mp3, DVD, dan juga CD-CD Data. Semuanya disusun dengan rapi lengkap dengan katalog indeks untuk setiap kepingnya. Namun karena saat ini teknologi penyimpanan data sudah lebih maju beberapa langkah, Bu Rahmi tidak perlu membawa serta koleksinya itu ke rumahnya yang baru di Cirebon. Sebagai gantinya ia cukup membawa semua backup-nya yang tersimpan aman dalam suatu piranti data storage yang sangat ringkas, sehingga bisa ia bawa-bawa dalam tas tangannya. Dengan seksama bu Rahmi menyaksikan video itu dari satu track ke track lainnya. Ada tayangan ketika dia mengikuti masa orientasi siswa. Terlihat ia sedang meledakkan balon di atas kepala teman barunya, si Nuri, dengan sebatang jarum di ujung pensil yang ia gigit di mulutnya. Pada track yang lain ada juga tayangan ketika ia mengikuti kemping di Cipanas Galunggung. Seru sekali tampaknya. Dan ia masih ingat juga ketika ia harus berpisah dengan teman-temannya hanya beberapa hari setelah kegiatan kemping itu, karena harus pindah ke Batam. Hampir satu jam Bu Rahmi, suami, dan puterinya menonton. Sesekali diselingi komentar-komentar di antara mereka sambil menikmati makanan kecil yang ada. Sementara di layar video terlihat tayangan setiap guru sedang memberi ucapan selamat dan pesan-pesan bagi kelas tiga yang baru pada lulus. Ada juga yang hanya tampilan foto dengan untaian kata-kata seperti puisi. Di akhir tayangan Bu Rahmi dikagetkan dengan sebuah flying text yang berbunyi “featuring Himne SMP Insan Taqwa Cipt. Halim Azwar Lazuardi……”. Seperti hari kemarin ia pun kembali sempat tertegun setelah membaca nama itu. Hanya saja kali ini ia langsung teringat Nuri temannya yang dulu mempaketkan VCD itu kepadanya ketika di Batam. Kalau dengan Nuri kebetulan ia masih suka berhubungan meski lewat telepon. Maka saking penasarannya, ia langsung menelpon Nuri. “Hallo, Assalamu ‘alaikum…..” “Wa ‘alaikum salam…” “Bisa bicara dengan Ibu Nuri, ini dari temannya.” “Saya Nuri, Ibu siapa ya?” “Hey Nur, ini aku, Rahmi.” “Masya Allah… Mi..Mi. pangling aku denger suaramu. Aduh gimana kabarmu, udah lama ya kita nggak ketemu sejak aqiqahan si Nisa. Eh… udah punya cucu belum…?” Selanjutnya Bu Rahmi pun kangen-kangenan dengan temannya lewat telepon. Dan ketika ia menceritakan tentang nama itu, temannya pun sempat kaget juga. “Mi, itu tu pak Ardi guru seni musik kita waktu di SMP IT dulu. Nama lengkapnya memang Halim Azwar Lazuardi.” Jelas temannya. “Oh… pak Ardi. Ya ampun iya-iya aku ingat sekarang. Kalau nggak salah, dia kan yang menjuluki kita AB-Three ? Bu Rahmi mencoba memastikan. “Iya betul…… dan Mi, aku dengan si Dilla termasuk siswa yang deket lho dengan pak Ardi. Terutama setelah AB-Three kita minus kamu. Maklum dia itu orangnya seperti tertutup dan dingin. Padahal ternyata itu cuma akting dia saja kalau di kelas”. “Oh gitu. Tapi kita memang jarang kan ketemu dia di sekolah kalau bukan di kelas.” “Iya memang. Soalnya pak Ardi kan guru honorer. Jadi ia hampir nggak punya kesempatan untuk deket dengan para siswa seperti guru-guru lain yang statusnya guru kontrak atau guru tetap”. “Eh Mi, tahu nggak ?” Sambung temannya. ”Aku kan dulu waktu selesai UAN pernah main ke rumah pak Ardi sama si Dilla. Ya ampun…. Mi, ternyata beliau itu orangnya sip banget. Terbuka dan mau menerima curhat berbagai masalah. Sampai aku masuk SMA SATAS, aku sering konsultasi. Apalagi sejak ia menikah, istrinya pun deket juga sama kita. Malah kalau pak Ardi nggak lagi di rumah aku juga suka curhat sama istrinya”. “Oh ya, emang orang mana istrinya ?” Bu Rahmi penasaran. “Masih orang Tasik. Cuma dulu mereka sama-sama kuliah di Yogyakarta. Pak Ardi di IAIN dan istrinya di psikologi UGM”. Jelas temannya. “Oh…. pantesan curhatmu bisa nyambung”. Komentar Bu Rahmi. “Eh Mi, gara-gara VCD itu aku sempat nangis lho dulu”. Temannya membuka kisah. “Nangis kenapa ?” Bu Rahmi jadi penasaran. “Ketika baru satu semester jadi siswi di SMA SATAS, aku kangen sama temen-temen. Terus aku tonton lagi VCD itu. Dan pas tampilan guru-guru pada ngasih ucapan selamat itu, aku penasaran ketika giliran pak Ardi yang cuma photo dan ada kata-kata. Kalau playernya nggak di-pause tulisan itu pasti nggak bakal terbaca semuanya soalnya keburu berganti tampilan lain. Maka ketika ku-pause …menangislah aku membaca puisinya pak Ardi”. Kenang temannya. “Emang puisinya gimana gitu Nur ?” Bu Rahmi masih pemasaran. “Ah… kamu lihat lagi aja di VCD. Aku pun nggak hapal. Tapi kesannya dalem banget…”. Temannya menjawab dengan saran. Demikian pembicaraan Bu Rahmi dengan temannya. Setengah jam berlalu tanpa terasa. Kemudian ia beranjak kembali ke ruang tengah. Sepintas ia melihat suaminya sedang duduk-duduk santai di taman ditemani puterinya yang sedang merapikan tanaman bunga. Sejurus kemudian, ia sudah berada di depan televisi. Karena penasaran, ia langsung menekan tombol-tombol remote control yang sudah ada di genggamannya. Sesuai petunjuk temannya ia langsung memilih track 12. Tepat pada tayangan photo pak Ardi ia lalu menekan tombol pause dan tampaklah untaian puisi sebagai berikut : AKU DEBUMU Maafkan aku bila selama ini aku hanya debu di matamu Saat kusinggah di matamu Mungkin matamu tak pernah melihatku Tapi merasakan kehadiranku Dalam kepedihan matamu Maafkan aku Bila selama ini aku hanya debu di baju sekolahmu Tak seperti tinta Aku tak mampu melekat kuat di baju sekolahmu Angin musim kini begitu kuat menerpa di sekitarmu Maafkan aku bila selama ini aku hanya debu di kepalamu Saat kusinggah di kepalamu Beratku terlalu ringan Untuk mengambil pusingmu padaku Maafkan aku Bila selama ini aku hanya debu di telapak kakimu Seberat apapun hentakan telapak kakimu Aku terlalu halus untuk diremukkan. Menyimak puisi itu, Bu Rahmi nampak biasa-biasa. Tidak ada perasaan mendalam seperti yang dialami temannya. Entah karena usianya yang sudah kepala lima atau karena ada episode-episode kenangan yang tidak sempat ia alami seperti yang dialami temannya bersama pak Ardi. Belakangan ia pun mengerti setelah temannya menceritakan bagaimana kejenuhan belajar pada saat-saat akhir di kelas tiga. Katanya, anak-anak kelas tiga ketika itu sudah tidak fokus lagi belajar. Apalagi untuk pelajaran-pelajaran yang tidak di-UAN-kan. Termasuk pelajaran seni musiknya pa Ardi. Kalau pelajaran seni musik, anak-anak maunya nyanyi dan nyanyi. Sementara pak Ardi tidak selalu melayani kemauan mereka, karena tuntutan kurikulum memang tidak demikian. Sampai akhirnya pak Ardi lebih sering ceramah tentang akhlak daripada materi seni musiknya. Itupun hanya disimak beberapa anak saja yang kebetulan tidak suka ngobrol di kelas. Sebulan telah berlalu. Sejak apa yang dialami Bu Rahmi ketika di Bandung, ia sudah tidak lagi terbelit misteri pak Halim yang ternyata pak Ardi itu. Kini ia bersama suaminya sedang berada di perjalanan menuju ke Bandung. Ada kabar dari Nisa, bahwa Dani mau datang melamar bersama orang tuanya. Pertemuan dua keluarga itu sengaja direncanakan di Bandung supaya lokasinya berada di tengah-tengah antara Tasikmalaya dan Cirebon. Sesuai rencana, pada hari ahad sekitar jam empat sore, keluarga Dani tiba di tempat kediaman bu Rahmi. Mereka disambut dengan hangat oleh tuan rumah. Seperti biasa, terlebih dahulu mereka saling beramah-tamah sekadarnya. Selanjutnya disambung dengan penyampaian maksud dari pihak keluarga Dani. Dan akhirnya, tanpa banyak mempertimbangkan lagi hal-hal yang sebelumnya memang telah dipertimbangkan, dari pihak keluarga Nisa pun secara resmi menerima lamaran keluarga Dani. Setelah acara inti terlaksana, kemudian mereka terlibat dalam obrolan berkelompok. Bu Rahmi, Nisa, dan ibunya Dani di satu kelompok. Sementara Pak Fahmi, Dani dan ayahnya di kelompok lain. Layaknya orang yang sudah kenal lama, mereka ngobrol sedemikian akrabnya. Sampai suatu saat Pak Fahmi memangggil Bu Rahmi. “Bu, coba ke sini !” Panggil pak Fahmi. “Ada apa Pak ?” Jawab bu Rahmi sambil mendekat duduk di samping suaminya. “Ibu masih ingat nama ayah Dani waktu kenalan tadi ?” Tanya pak Fahmi “Iya masih, Pak Azwar kan ?” Jawab bu Rahmi sambil menatap suaminya dengan terheran-heran dan mencoba menerka-nerka. “Begini Bu, Pak Azwar ini adalah…” Pak Fahmi belum menyelesaikan kata-katanya. “Pak Ardi….masyaallah Bapaaak… ! Bu Rahmi memotong seraya dengan spontan duduk bersimpuh di hadapan ayahnya Dani. Dipegang dan diciumnya tangan pak Ardi. Ibarat seorang anak di hadapan bapaknya, bu Rahmi menangis terisak-isak. Entah berapa ribu kata yang menyesak di dadanya. Rasa haru, rasa hormat, dan perasaan-perasaan lain bercampur jadi satu dengan kilasan-kilasan memori tentang gurunya sampai untaian kata-kata dalam puisinya. “Ya Allah..!” Batinnya. “Maha Suci Engkau Yang telah menundukkanku untuk bersimpuh di hadapan guru seni musikku yang anak bungsunya mau mempersunting putri tunggalku !” Hill Man's Tasikmalaya, medio nopember 2005 |
Jumat, 31 Agustus 2007
Senin, 27 Agustus 2007
Minggu, 26 Agustus 2007
Langganan:
Postingan (Atom)