Minggu, 18 November 2007

INTERMEZZZO

QUANTUM LEARNING & QUANTUM TEACHING

Tahukah Anda .........??
Bahwa sesungguhnya dua metode belajar dan mengajar yang sempat ngetrend dengan nama QUANTUM LEARNING & QUANTUM TEACHING itu merupakan hasil kolaborasi tiga orang ahli pendidikan dari tiga negara (suku bangsa).
Mereka itu terdiri dari orang Sunda, orang Arab dan orang Inggris. Hal ini terbukti dari nama yang diambil untuk kedua metode itu yang ternyata berasal dari tiga bahasa mereka. Mari kita analisis dengan metode Q-Rata.

Qu = berasal dari kata "ku" dalam bahasa Sunda yang berarti "oleh"
antum = berasal dari bahasa Arab yang berarti "kamu / anda"
Learning & Teaching = jelas berasal dari bahasa Inggris yang artinya "belajar & mengajar"

Jadi pada dasarnya kedua metode itu mengandung pengertian bahwa kesuksesan belajar atau mengajar itu sangat tergantung kepada Anda sendiri yang melakukannya. Atau dalam ungkapan orang Tepung Kanjut dapat dikatakan seperti ini :
"Nu ngarana diajar atawa ngajar mah kuma' maneh we....................... . Meunang hasil nu mucekil kulantaran usaha maneh, gagal oge kulantaran usaha maneh sorangan................"

Maka jangan dulu silau dengan berbagai metode yang menjulang dengan nama kebritish-britisan............ .

Jumat, 16 November 2007

(SEBAGIAN) KONSEP ISLAM TENTANG SENI

(SEBAGIAN) KONSEP ISLAM TENTANG SENI

Manusia diciptakan Allah dalam wujud atau bentuk yang paling indah di antara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Dengan keindahan wujudnya itu manusia juga mempunyai kecenderungan menyukai hal-hal yang dianggap lebih indah atau lebih baik dalam kehidupannya. Kecenderungan tersebut merupakan fitrah yang dianugerahkan Allah agar manusia dapat menjaga kemuliaan dan kehormatannya sebagai makhluk Allah.Rasa keindahan merupakan bagian dari perwujudan rasa seni yang dimiliki manusia. Dengan rasa seninya tersebut, setiap manusia dapat menciptakan atau menikmati karya-karya seni yang selanjutnya dapat membangkitkan rasa kagum, rasa senang dan sebagainya. Kemudian dengan tergugahnya perasaan tersebut, manusia dapat sampai kepada suatu kesadaran tertentu. Dan rasa yang sering diasah dengan melakukan kegiatan-kegiatan seni akan menjadi lebih tajam dan peka yang nantinya sangat berguna bagi manusia dalam menanggapi setiap permasalahan dalam hidupnya.Permasalahannya, rasa seni atau rasa keindahan yang seperti apakah yang dapat mengasah kepekaan rasa serta dapat menjaga kehormatan manusia dan kemuliaannya di mata Allah SWT ?. Pertanyaan ini dimunculkan sehubungan dengan maraknya karya-karya atau kegiatan-kegiatan yang dikatakan “seni” dalam kehidupan kita sehari-hari, tetapi keadaan tersebut tidak jarang memicu berbagai permasalahan dalam masyarakat.
____________
Dalam falsafah keindahan, setidaknya terdapat dua teori yang berbeda satu-sama lain yang dikemukakan para ahli filsafat, yaitu sebagai berikut :
1. Teori Subyektif, yang mengatakan bahwa keindahan itu adalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda.
2. Teori Obyektif, yang mengatakan bahwa keindahan itu memang ada dan melekat pada suatu benda.Dalam Alqur’an terdapat juga ayat-ayat yang mengisyaratkan kedua teori tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut :- Q.S. Fathir (35) : 27-28 yang artinya :“Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam warnanya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada pula yang hitam pekat.”“Dan demikian pula di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya. Sesung-guhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. ”Pada ayat-ayat di atas terlihat betapa ciptaan-ciptaan Allah itu mempunyai nilai keindahan yang melekat pada dirinya sendiri (obyektif). Ayat-ayat tersebut melukiskan bagaimana tumbuhan, hewan, gunung, dan manusia mempunyai warna-warni yang beraneka ragam sehingga dapat membangkitkan rasa keindahan (estetis) bagi orang yang mengamatinya. Kemudian pada ayat-ayat lain dilukiskan juga bagaimana pada ciptaan Allah itu terdapat keseimbangan atau keharmonisan yang menjadi salah satu syarat bagi sesuatu yang disebut indah atau berseni. (lihat Q.S. Al-Hijr (15) : 19, Al-Mulk (67) : 3-5, At-Taghabun (64) : 3, As-Sajdah (32) : 7, Al-A’raf (7) : 11, Ali Imran (3) : 6, Al-Mu’minun (18) : 14, dll. )Kiranya sudah jelaslah bahwa keindahan sebagai sesuatu yang berada di luar diri manusia (sbg. Pengamat keindahan) diakui secara tersirat di dalam Al-Qur’an.Adapun ayat-ayat yang menyiratkan teori subyektif, misalnya ayat-ayat sebagai berikut :- Q.S. An-Nahl (16) : 5-6 yang artinya :“Dan Allah telah menciptakan binatang ternak untukmu, padanya terdapat bulu yang menghangatkan, dan berbagai manfaat serta sebahagiannya kamu makan. Dan kamu daripadanya memperoleh “kesan keindahan” ketika kamu menggiringnya ke kandang dan ketika melepaskannya ke penggembalaan”- Q.S. An-Nahl (16) : 8, yang artinya :“Dan Allah telah menciptakan kuda, bigal dan keledai agar kamu menungganginya dan menjadikannya sebagai perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.”Pada dua ayat pertama terlihat bagaimana keindahan itu (kata “jamalun”) dilukiskan sebagai pandangan / kesan yang muncul dari diri manusia setelah mengamati sesuatu. Selanjutnya pada ayat di bagian kedua dilukiskan bagaimana binatang seperti kuda atau keledai dapat jadi perhiasan bagi manusia. Kata perhiasan tentunya ditujukan bagi sesuatu yang mempunyai nilai seni / keindahan. Padahal tidak semua orang dapat menikmati atau menghayati nilai keindahan pada seekor kuda. Jadi dengan demikian keindahan itu bukan sesuatu yang ada pada diri seekor kuda, tapi berada pada diri seseorang yang menikmati kuda itu.Dari dua teori di atas yang masing-masing secara tidak langsung didukung ayat-ayat Al-Qur’an maka rumusan tentang bagaimana sesungguhnya hakikat seni atau keindahan itu, dalam Islam akhirnya dikembalikan kepada tingkat apresiasi manusia sendiri terhadap Islam, jika Islam memang mau dijadikan sebagai “kaca mata pandang”-nya..Perlu ditegaskan di sini bahwa Islam sebagai agama yang mengandung ajaran-ajaran aqidah, akhlak, dan syari’ah, senantiasa mengukur segala sesuatu, baik itu benda maupun kegiatan, dengan ketiga aspek di atas. Demikian pula halnya dengan ukuran tentang nilai seni atau nilai estetis dalam Islam, maka pertimbangan moral, aqidah dan syari’at Islam tetap akan selalu menjadi patokan.Maka seorang muslim dengan masing-masing kapasitasnya dalam mempelajari, meyakini dan menghayati ajaran Islamnya dituntut untuk konsisten dan bersikap jujur terhadap keyakinan- nya sendiri. Bukankah Allah juga memberi opsi “siapa yang mau beriman, ya berimanlah, dan siapa yang mau ingkar, yang ingkarilah !”Berdasarkan uraian di atas, maka Islam sebetulnya telah mengkonsep seni dalam wilayah ijtihadiyah (thinkable). Dan di antara prinsip-prinsip ijtihad adalah : ilmu, niat, totalitas, kearifan dalam membaca kompleksitas. Wallahu a’lam. (Asep Hilman Yahya, S. Ag.)

REFLEKSI DI BALIK KURSI TERBALIK

....................................... PLESBEK

Setelah para elit partai berjibaku untuk meraih kursi di parlemen, kini giliran para pelaku dunia pendidikan yang mempermasalahkan tentang “kursi”. Mungkin kita masih ingat, waktu belajar menulis angka-angka kita diajari guru bagaimana menulis sebuah angka yang bentuknya seperti “kursi terbalik”, itulah angka empat. Dan kita juga mungkin pernah diajari menulis angka tiga yang diasosiasikan dengan “monyet sedang duduk”, dan seterusnya. Bapak atau ibu guru yang mengajarkan menulis angka-angka dengan mengasosiasikannya terhadap sesuatu yang relatif sudah dikenali muridnya, tentu dengan tujuan untuk mempercepat proses pemahaman bagi anak didiknya. Meskipun memang pengasosiasian ini jadi tidak efektif manakala sang murid belum mengenal kursi, monyet, angsa, dan sebagainya yang dijadikan benda asosiasinya.
Pro-kontra terhadap kebijakan Mendiknas tentang nilai minimum kelulusan siswa sekolah lanjutan ini sesungguhnya menjadi cermin besar untuk berkaca : serendah apakah mutu dunia pendidikan bangsa kita. Mungkin kita belum bisa mengukur dengan ungkapan “setinggi apa” karena angka empat itu terlalu rendah jika dibandingkan dengan angka delapan apalagi dengan angka sepuluh.
Sepintas lalu “kerendahan” itu bisa dilihat dari munculnya sikap-sikap pesimis “kalah sebelum bertanding” yang sebetulnya kurang pantas mengemuka dalam dunia pendidikan. Peribahasa mengatakan : “Takut salah itu sudah salah dan takut kalah itu sudah kalah”. Entah dari mana sikap ini pertama kali muncul, apakah dari para siswa atau orang tuanya, apakah dari para guru atau kepala sekolah, atau bahkan dari para politisi. Yang pasti meskipun sikap ini dilatarbelakangi alasan-alasan logis baik yang empiris maupun yang futuristis, namun sikap pesimistis tetap saja kurang produktif dalam dunia pendidikan, apalagi ketika ia terlambat muncul mengemuka di saat Ujian Nasional sudah di depan mata. Belum lagi jika kita melihat kisaran angka yang diperdebatkan, semakin jelaslah bahwa baik subyek pembuat kebijakan maupun obyeknya, sama-sama sedang “bermain” dalam wilayah pesimistik. Mengapa tidak sekalian saja memasang angka enam misalnya, jika pembuat kebijakan tidak dalam posisi pesimis.
Demikianlah kiranya jika permasalahan pendidikan ini muncul dengan kesendiriannya dan dipandang dalam kondisi bangsa yang yang sedang normal sehat wal afiat. Hanya saja bangsa ini sedang menderita gejala komplikasi yang sangat akut sehingga untuk mengobati satu penyakit perlu memperhatikan penyakit-penyakit yang lainnya. Apalagi jika para dokternya sendiri sedang sakit, perlu dokter lain yang sehat untuk menyembuhkan terlebih dahulu para dokter yang sakit itu agar bisa bekerja dengan baik.
Maka dari itu, persoalan utama yang dihadapi bangsa ini adalah bagaimana mencari dokter yang tidak sakit atau minimal yang agak sakit dimana penyakitnya itu tidak menular dan berbahaya. Jika dokter dimaksud sudah ditemukan kita berharap dia mampu mengobati gejala komplikasi yang diderita bangsa ini. Salah satu contohnya, dia mampu menindaklanjuti “tindakan medis” terhadap pasien yang tidak mampu menggambar “kursi terbalik” dengan resep berupa “tiket gratis” untuk mengikuti les menggambar selama tahun pelajaran yang akan datang.
Dalam konteks pemilu 2004, jika dokter yang kita cari itu adalah para capres yang akan dipilih pada tanggal 5 juli 2004 nanti, maka seyogianya kita memilih capres yang paling sedikit terlibat masalah-masalah yang menghambat tujuan reformasi di negeri kita ini. Dan jika kita kesulitan memilih sosok capres seperti itu, karena saat ini mereka sama-sama melakukan “penampakan” yang bagus, maka ada cara lain yang cukup mudah dan dapat dipertanggungjawabkan. Cara tersebut adalah dengan mengingat kembali transaksi reformasi yang pernah kita akadkan ketika bangsa kita hendak menjalani “bedah tumor politik” beberapa tahun yang lalu.
Kalau tidak salah, kita masih punya tagihan tanggungjawab dari beberapa dokter reformasi yang pernah melakukan pembedahan tumor politik di tubuh bangsa ini. Di antara mereka ada yang belum diberi kesempatan untuk memimpin dan menuntaskan proses pembedahan itu, mumpung saat ini masih ada di antara mereka yang siap bertanggungjawab. Ini adalah kesempatan emas yang terakhir, jika kesempatan ini tidak kita manfaatkan, maka dokter-dokter itu mungkin sudah sulit kita minta pertanggungjawabannya di masa yang akan datang. Tentang siapakah dokter-dokter itu, silakan buka arsip-arsip pemberitaan media massa selama pertengahan tahun 1998.
Akhirnya, kepada para pelajar saya mengucapkan selamat berjuang dengan penuh semangat optimisme. Jangan kalah sebelum bertanding, belajar dan berdo’alah agar bisa mempersembahkan lukisan “si kurus dan si gemuk” bagi Ibu Pertiwi yang masih terbaring di meja operasi, menunggu dokter bedah reformasi yang belum sempat mendapat giliran untuk bertanggungjawab. “You are today stars blinking in the sky, and tomorrow you’ll be the the sun”.
Tasikmalaya, 5 Mei 2004

SHALATNYA RAKYAT DI PEMILU 2004

Shalatnya rakyat di Pemilu dua ribu empat
Banyak yang sempat, lumayan juga yang terlewat
Meski sangat terlambat,
maklumat hasil yang mencuat, banyak pihak yang menggugat.
Entah karena kucing yang kelewat penat,
Entah karena tikus pengerat yang kelewat kuat.
Yang pasti, rakyat akan tetap shalat
meski para modin baru mau berangkat diklat

Shalatnya rakyat di Pemilu dua ribu empat
Sepakat tentang rukun dan syarat
Silang pendapat tentang imam yang hendak didaulat

Shalat secara etimologis berarti “berdo’a untuk kebaikan”. Orang yang mendirikan shalat harus dilandasi niat yang tulus ikhlas karena Allah, dan dalam menunaikan shalat seseorang harus berada dalam kontrol kesadaran yang penuh sehingga segenap syarat dan rukunnya dapat dipenuhi sebagaimana mestinya. Dalam ajaran Islam, untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkan tidak cukup hanya dengan berdo’a, tapi harus disertai usaha yang optimal, maksimal dan halal, sehingga adagiumnya Machiavelli “het doel heilight de midellen” tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
Di tengah berbagai aktifitas sehari-hari, shalat pun jangan sampai terlupakan, sehingga peran para modin relatif dibutuhkan guna mengingatkan para hamba Allah untuk menunaikan kewajibannya.
Seandainya pemilu legislatif yang telah kita laksanakan kemarin adalah pemilu yang diwarnai semangat do’a dan ikhtiarnya shalat. Maka kita berharap semoga para caleg yang terpilih, nantinya akan menjadi para modin yang siap mengabdikan dirinya mulai dari mesjid-mesjid agung sampai mesjid negara. Semoga lantang dan merdunya suara mereka yang pernah berkumandang di arena-arena kampanye kemarin, akan tetap bergema menyerukan keagungan Ilahi, keshalihan individual, dan kejayaan bersama, ketika mereka telah berdiri di atas menara-menara. Dan dalam menjalankan tugasnya, semoga merekapun sadar akan godaan dan tantangan yang menuntut kesiapan mental yang prima. Siap stand by di tempat kerja dan hidup bersahaja. Siap meng-“adzani” siapa saja tanpa takut terjatuh dari menara. Dan tentunya siap melakukan shalat berjamaah bersama orang-orang yang diserunya.
Dari pemilu yang sudah-sudah, banyak pengalaman telah mendera kita. Kita mungkin pernah kecolongan, ketika beberapa di antara para modin terpilih itu jadi bisu dan tuli, tidak dapat menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Ada yang karena tidak betah di mesjid, atau karena takut terjatuh dari menara, atau malah dikarenakan sibuk dengan proyek-proyek pengadaan sarana dan pra-sarana mesjid. Atau ada juga yang tetap lantang mengumandangkan adzan, tapi acapkali lebih cepat atau lebih lambat dari jadwal yang semestinya. Atau bahkan di antara mereka ada yang mengurangi jam kerjanya karena ada sementara pihak yang merasa “terganggu” dengan kumandang adzan, terutama oleh adzan ketika matahari terbenam di ufuk Barat.
“Belajar dari pengalaman”. Itulah mungkin sebuah ungkapan klasik yang fasih diucapkan orang namun sulit untuk dilaksanakan. Dari kenyataan pemilu yang baru saja berlalu hanya sedikit sekali yang mampu atau mau belajar dari pemilu lima tahun yang lalu. Sejak proses persiapan sampai proses pengumuman hasilnya, baik pemerintah maupun rakyat, kebanyakan masih “belajar mengalami” dan belum “belajar dari pengalaman” alias trial and error forever.
Sebagai contoh, kurang-lebih seminggu setelah hari pemungutan suara, beberapa elit partai di Jakarta sana sudah pada kebakaran jenggot menunggu dan melihat publikasi perolehan suara yang merupakan bagian dari hasil kerja teknologi informasi (TI) yang digunakan oleh KPU. Ada yang tidak percaya, ada yang minta dihentikan saja, dan berbagai reaksi sumbang lainnya. Padahal kejadian seperti ini pernah terjadi lima tahun yang lalu, dan lima tahun yang lalu pun sudah disadari kurangnya kesiapan SDM pengelola pemilu terutama petugas di TPS-TPS yang merupakan titik awal proses pemungutan suara yang mereka tunggu-tunggu itu. Di sini, perlu kiranya dipertanyakan seberapa besarkah peran mereka selama lima tahun kemarin dalam mendidik atau melatih masyarakat, minimal mengajari bagaimana menjadi petugas yang baik dan benar di TPS-TPS, apalagi pemilu kemarin secara teknis administratif banyak hal yang baru.
Secara kebetulan, penulis, dalam pemilu legislative kemarin mendapat tugas sebagai supervisor entry data di sebuah kecamatan di kabupaten Tasikmalaya. Proses entry data baru mulai dapat dilakukan pada tanggal 5 April 2004, pukul 20.45 WIB, ketika form C1-TI secara berangsur mulai kami terima. Data itupun baru dapat dientry jika sudah tidak ada lagi masalah. Masalahnya cukup beragam, ada kesalahan menjumlah, ada perolehan suara caleg yang melebihi perolehan suara partai, ada calon DPD yang nyata-nyata mengundurkan diri mendapat suara atau partai tanpa caleg yang suaranya masih dimasukkan dalam form rekapitulasi, dan masalah-masalah lainnya. Ada pula keganjilan ketika 18 prosen surat suara dari kurang lebih 21.200 lembar surat suara yang diterima semua TPS di kecamatan tersebut dinyatakan rusak dalam berita acara, sementara sisa surat suara hanya 0,7 prosen saja. Pengiriman form C1-TI pun - melihat keterlambatannya – sepertinya tidak semuanya langsung dikirim dari TPS ke PPK sebagaimana dalam surat edaran dari KPU, tetapi mungkin sempat mampir dulu di PPS. Masalah-masalah serupa, hampir semuanya dialami juga oleh teman-teman kami yang bertugas di kecamatan-kecamatan lainnya.
Dalam hal pengawasan, meskipun sudah ada mekanisme yang telah ditentukan, dalam pelaksanaannya masih banyak celah-celah yang membuka kesempatan bagi oknum-oknum tertentu untuk berlaku tidak jujur, terutama setelah proses penghitungan sampai pengiriman hasilnya ke tingkat PPK. Tidak sedikit para saksi yang kurang jeli atau memang tidak tahu bagaimana seharusnya menulisi berita acara dan apa yang ditulis di dalamnya. Beberapa form C1-TI yang datanya dientry ke komputer ada yang ditulis dengan pensil disertai bekas hapusan di sana-sini, atau ditulis dengan ballpoint di atas sapuan tipp-ex.
Itulah sekilas pengalaman penulis ketika bertugas di suatu daerah yang hanya berjarak kurang-lebih 35 kilometer dari jantung kota Tasikmalaya. Yang terlintas dalam hati dan pikiran ketika mengetahui keterbatasan-keterbatasan seperti itu, adalah keterbatasan-keterbatasan lain yang bisa jadi lebih parah di peloksok-peloksok terpencil di belantara Nusantara ini.
Sementara itu pusat data KPU di Jakarta sana ibarat sebuah warung nasi. Para elite partai tengah menunggu hidangan nasi liwet yang pernah mereka pesan sejak masa kampanye beberapa hari yang lalu. Karena mungkin sudah terbiasa dengan fast food service, pesanan yang agak terlambat dihidangkan itu hampir saja dibatalkan karena ternyata tidak sesuai dengan menu pesanan mereka. Padahal ada yang sudah lama mereka lupakan, mereka lupa bahwa sawah dan ladang sudah jarang, anak-anak petani banyak yang tidak mewarisi keahlian orang tua mereka, sampai-sampai tidak bisa membedakan antara butir-butir beras dengan butir-butir pupuk urea.
Dalam konteks yang lain, belajar dari pengalaman pun bisa saja tidak memberikan dampak perubahan yang berarti. Yaitu ketika sebuah pengalaman hanya bersifat semu sebagai hasil dari sebuah rekayasa pembodohan masal.
Sebuah stasiun televisi pernah menayangkan kilasan sejarah para pemimpin bangsa ini yang menerangkan bahwa sebelum mereka duduk di kursi kepemimpinan, mereka terlebih dahulu mengalami suatu penderitaan dengan beraneka ragam variasinya. Penderitaan tersebut kemudian berbuah simpati rakyat. Dan ketika simpati itu mengalir dalam arus demokrasi, jadilah ia sebuah perahu yang mengantar sang teraniaya ke muara kekuasaan. Sayangnya di muara kekuasaan itu, sang teraniaya yang telah berhasil menjadi nakhoda terkadang lupa daratan. Perahu tidak pernah mengalami proses renovasi yang serius, sementara beban muatan semakin berat, akhirnya ia dan perahunya pun karam.
Episode timbul dan tenggelamnya perahu simpati ini sepertinya telah menjadi sebentuk pola hubungan antara rakyat dan pemimpinnya di negara demokrasi yang unik ini. Dipikulnya amanat penderitaan rakyat oleh pemimpin yang berhasil bangkit dari lembah derita, ternyata tidak kunjung mampu mengangkat rakyat dari kubangan deritanya. Adakah ini akibat dari pasal konstitusi yang berbunyi, “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”, yang diinterpretasi secara analogis dengan memelihara atau beternak ayam dimana keberhasilan sang peternak ditunjukkan dengan peningkatan kuantitas ternak peliharaannya, meski dengan modal pinjaman dari sana-sini. Ketika jumlah ternak tidak lagi terimbangi oleh persediaan pakan ternak yang produk impor itu, dengan mudahnya ternak dijual atau digadaikan. Dan tidak perlu heran jika di antara ternak-ternak itu hanya sebagian kecil saja yang protes atau kabur ketika menyadari dirinya akan dijual, digadaikan atau bahkan dimusnahkan oleh sang peternak.
Alhasil, bagi kebanyakan rakyat yang oleh sementara pihak - yang juga rakyat – dikatakan tengah menderita, istilah “penderitaan” sepertinya sudah kehilangan maknanya yang signifikan. Mereka sudah sedemikian terlatih bahkan terdidik untuk bisa menikmati penderitaan ketimbang untuk berusaha keluar dari penderitaan. Dan itulah barangkali aset kekayaan bangsa kita yang masih tersisa dan patut disyukuri terutama oleh para politisi busuk sejak tahun 1945 sampai saat ini -- aset sumber daya manusia yang kurang familiar dengan ungkapan “terjajah oleh bangsa sendiri”, siap dijual, digadaikan, bahkan dimusnahkan, asal oleh saudara sebangsa--. Tidak jadi soal apakah saudara sebangsa itu dalam posisinya sebagai suami, istri, anak, orang tua, pemuka agama, pemuka masyarakat, ketua RT sampai kepala negara, anggota dewan rumah ibadat sampai dewan perwakilan rakyat, pemimpin partai, LSM, atau ormas-ormas. Tidak juga jadi masalah apakah saudara sebangsanya itu dalam posisinya sebagai koruptor, bandar judi, bandar narkoba, germo, mucikari, gembong residivis, atau hanya preman kampung. Soalnya, jangankan untuk belajar dari pengalaman, untuk belajar saja kebanyakan rakyat masih harus bermimpi dulu jadi wakil rakyat yang berani meningkatkan anggaran pendidikan dalam RAPBN.
Jika pepatah mengatakan, “Ora et Labora”, maka sesungguhnya bangsa ini baru sebagian kecil saja yang berkesempatan belajar, sementara sisanya hanya baru bisa berdo’a dan berdo’a. Oleh sebab itu wajar jika kebanyakan rakyat yang “belum terpelajar”, dengan bersahaja baru bisa bersuara :
”Kami merasa nyaman dengan kemampuan kami yang hanya bisa berdo’a, dan kami merasa lebih mudah mencerna bahasa-bahasa mereka yang sekelas dengan kami. Do’a kami yang sering tidak terkabul memang kami sadari, karena mungkin Tuhan sering tersinggung oleh sikap kami. Dalam kefakiran yang menenggelamkan kesabaran, kami sering menitipkan do’a lewat wakil-wakil pilihan kami yang tentunya bersedia memberikan setetes prosentase pengabulan awal dari selautan prosentase do’a kami. Bahkan sebelum do’a kami panjatkan di waktu dluha, pengabulan awal itu sudah turun di saat fajar. Dan ketika Tuhan mengabulkan selautan prosentase do’a kami, wabah amnesia lalu menjangkiti kami dan wakil-wakil pilihan kami, sehingga pengabulan lanjutan dari do’a yang pernah kami titipkan dulu, sudah terlupakan”.
Mereka juga barangkali wajar jika merasa tidak berurusan dengan konsekuensi logis beban piutang nasional sebanyak kira-kira Rp. 8 juta per kapita itu. Mana ada “ayam” yang peduli dengan utang peternaknya, atau merasa malu jika peternakan tempat mereka hidup menempati peringkat yang signifikan dalam hal budidaya korupsi. Untuk kesadaran dan kepedulian nasional itu, perlu proses evolusi “chicken being humanization” yang memakan waktu cukup lama, sebanding dengan lamanya proses “human being chickenization”.
Dalam ke-gharim-an dan ke-muflish-an bangsa ini, jika rasa heran sudah tidak punya tempat dalam panggung politik, maka rasa syukur patut kita panjatkan kepada Allah bahwasanya masih ada bahkan banyak anak bangsa ini yang masih “nekad” mengajukan diri untuk jadi pemimpin nasional. Sebuah fenomena yang dianggap tabu pada masa Orde Baru, sampai akhirnya di tahun ‘90-an ada anak bangsa yang “nekad” berani mengetuk-ngetuk pintu istana dengan “salam suksesinya”. Meski salam itu pada mulanya sering dijawab gonggongan anjing serta cercaan para simpatisan status quo, namun “anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”, salam itu ibarat virus, ia menembus dinding-dinding kampus dan merambat di kesadaran rakyat sampai akhirnya berhasil mendobrak terbuka pintu istana. Walhasil, kini banyak rakyat yang tanpa malu-malu lagi berkata : ”Jadi Presiden, siapa takut ?”. Maka untuk nikmat terbukanya pintu demokrasi itu, jika ungkapan terima kasih bagi sang pendobrak dikhawatirkan jadi door prize politik yang terlalu pragmatis, maka kita pun patut bersyukur kepada Allah yang telah berkenan mengirim dia sebagai door prize-Nya bagi kita.
Setelah bersyukur, tentunya kita berdo’a lagi semoga pemimpin nasional kita nanti menjadi imam yang betul-betul memahami makna seruan adzan yang kemudian dia aplikasikan dalam shalat berjama’ah yang khusyuk, penuh keikhlasan dan diapun faham betul kondisi jama’ah yang menjadi makmum di belakangnya. Sebab dalam shalat berjamaah, hakikat mengikuti imam itu bukan karena taat atau takut kepada sang imam, tapi semata-mata karena taat kepada Allah SWT. Demikian pula jika sang imam melakukan kesalahan, ada prosedur yang jelas untuk mengoreksinya, tanpa merusak atau membubarkan kelangsungan berjamaahnya sendiri.
Selanjutnya kita juga perlu berdo’a bagi kita sendiri, terutama do’a agar kita diberi kekuatan ekstra dalam menghadapi kenyataan apapun yang akan terjadi nanti sebagai akibat dari ketetapan hati kita untuk memilih atau tidak memilih pemimpin nasional kita. Sebab, meski era kita ini adalah era informasi, namun tetap saja kita berada dalam relativitas keterbatasan dalam mengetahui secara memadai jati diri para calon pemimpin yang hendak kita pilih, bahkan bisa juga informasi yang kita terima itu bertolak belakang dengan kenyataannya. Apalagi jika uang berikut berbagai macam penjelmaannya sudah ikut berbicara, dengan setting krisis ekonomi yang kita hadapi, mungkin berita yang tertulis di media-media cetak itu hanya setahi kuku saja bobotnya dibandingkan dengan angka nominal yang tercetak di lembaran-lembaran atau lempengan-lempengan alat tukar tersebut, karena lebih simpel, efektif, dan tidak perlu susah-susah belajar membaca apalagi berpikir. Semua itu bisa mengakibatkan terjadinya salah pilih, dan kesalahan itu harus siap kita hadapi akibatnya minimal untuk lima tahun ke depan. Itupun jika jarum jam sejarah bangsa ini tidak diputar mundur oleh pemimpin kita nanti.
Akhirnya, beresonansi dengan Buya Syafii Maarif yang berusia hampir kepala tujuh (Republika, 27-04-2004), penulis sebagai seorang yang berusia baru kepala tiga, merasa wajib mengajak bangsa ini untuk berenang dalam dzikir dan do’a, menepi di antara khauf dan raja’, tentunya setelah kita berusaha optimal dan maksimal dalam menunaikan “ibadah mencari pemimpin” dalam pemilu 2004 ini.
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Arrahmanirrahim, maliki yaumiddin,
iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in,
Ihdinash shiratal mustaqim, shiratal ladzina an’amta ‘alaihim,
Ghairil maghdlubi ‘alaihim, waladl dla_llin.
Semoga ….

_____________________________