Minggu, 16 September 2007

SERENADA BINGKAI PINANGAN

Baru sekitar satu bulan, Bu Rahmi menempati rumah di komplek dosen itu. Kegiatan hariannya di samping menjalankan bisnis butik yang baru saja membuka gerai baru di Kota Udang itu, masih seputar kegiatan beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Sebetulnya dia merasa agak canggung. Sebagai warga baru mestinya dialah yang menjadwalkan kunjungan shilaturrahmi ke rumah-rumah tetangganya di komplek itu. Namun karena kesibukannya dan juga kesibukan suaminya, jadwal itu tidak pernah teragendakan juga. Apalagi jika mengingat hari-hari selama sebulan ke belakang, sepertinya hampir separuh dari penghuni komplek itu pernah menyegaja berkunjung ke tempat kediamannya.
Adapun Pak Fahmi, suaminya, sudah tiga bulan dikukuhkan sebagai rektor di universitas tempat para dosen yang juga tetangganya itu bekerja. Sebelumnya, dia bekerja sebagai pembantu rektor di universitas lain yang masih berada di bawah naungan yayasan yang sama. Kini dia tinggal di rumah dinas yang telah disiapkan oleh yayasan yang mengangkatnya. Ini berbeda dengan ketika dia masih bekerja di Bandung. Dia menempati rumah sendiri bersama istri dan putri tunggalnya yang belum lama lagi akan dilamar oleh jejaka idamannya.
Sore itu, bu Rahmi dengan suaminya tengah duduk-duduk santai menikmati akhir pekan di rumah.
“ Bu, kalau ada waktu, sabtu depan ada undangan buat ibu”. Pak Fahmi membuka percakapan.
“ Memangnya undangan apa ?” Tanya bu Rahmi.
“ Itu, acara wisuda semester genap. Kalau tidak salah, ibu kan belum pernah menghadiri acara-acara wisuda di tempat bapak”.
“ Tumben kali ini ada undangan. Biasanya kan nggak pernah diundang”
“ Ya…., ini sih karena teman-teman bapak di rektorat minta begitu.”
“ Sabtu depan ya, sepertinya insyaallah bisa. Tapi rencana kita nengok si Nisa bagaimana, kan sabtu depan juga ?” Bu Rahmi teringat sebuah rencana.
“ Oh iya.. ya. Tapi nggak apalah. Kita kan bisa ambil hari ahadnya saja dan nggak usah menginap”.
“ Iya deh kalau begitu. Nanti ibu telpon si Nisa”.

Bersama ibu-ibu yang lain, di hari sabtu itu bu Rahmi ikut terhanyut dalam suasana hidmat upacara wisuda. Tidak kurang dari seribu wisudawan dan wisudawati, terlihat khusyuk mengikuti upacara tersebut. Ingatan bu Rahmi melayang ke beberapa tahun yang silam ketika dia dengan jubah toganya tenggelam dalam lautan hitam wisudawan sesamanya. Mengucapkan ikrar sarjana dan dengan sabar menunggu antrian prosesi pemindahan kucir toganya sebagai tanda simbolik keabsahannya menyandang gelar sarjana ekonomi.
Upacara berjalan lancar dari satu mata acara ke mata acara yang lain. Sampai ketika korps paduan suara selesai mengumandangkan lagu mars dan himne universitas tersebut, tanpa disengaja bu Rahmi membaca sebuah nama yang tertulis di buklet wisuda yang dipegangnya. Nama itu tertulis tepat di bawah judul lagu mars dan himne yang baru saja dikumandangkan.
Membaca nama itu dia tertegun beberapa saat. Perasaannya mengatakan sepertinya dia pernah mengenal nama itu. Tapi di mana dan kapan, itulah yang menjadikan konsentrasinya melayang-layang menembus dimensi ruang dan waktu yang lain, di luar aula dan saat itu.
“Bu Fahmi, katanya besok mau ke Bandung ya ?” Seseorang kedengaran bertanya.
“Bu, Bu Fahmi…….” Suara itu berusaha masuk dalam konsentrasi Bu Rahmi.
“Eh… iya, maaf. Ada apa Bu Umi..? Bu Rahmi tersadar dari lamunannya, dan balik bertanya kepada si empunya suara tadi yang ternyata Bu Umi.
“Anu, Ibu sama Bapak jadi ke Bandung besok ?” Jawab Bu Umi dengan pertanyaannya.
“Oh… iya. Insyaallah jadi. Maaf lho Bu Umi, tadi saya agak melamun.”
“Ah..nggak apa-apa kok Bu…”.
Di perjalanan pulang sampai tiba di rumahnya, nama itu masih mengganggu pikiran Bu Rahmi. Ia coba mengingat-ingat nama teman-teman kuliahnya yang rada-rada suka musik, tapi nama itu tidak juga ketemu. Lantas dicobanya juga mengingat-ingat lebih jauh ke masa-masa SMA dan SMP. Namun itupun tidak kunjung mempertemukannya dengan nama itu.

“Halim… Halim… siapa kamu. Halim… Halim… siapa kamu. Halim…Halim…..”.
“Bu…bu….Ibu, bangun bu. Ibu…bangun. Istighfar bu, istighfar…! Dengan agak kaget, Pak Fahmi terbangun dari tidurnya. Ia coba menyadarkan istrinya.
“Astaghfirullahal adhim……astaghfirullahal adhim…..” Bu Rahmi tersadar.
“Ada apa Bu,… Ibu kok mengigau memanggil-manggil nama Halim ?” Pak Fahmi mencoba bertanya ketika istrinya sudah kelihatan tenang.
Selanjutnya Bu Rahmi pun menceritakan apa yang dialaminya tadi siang sejak upacara wisuda. Dan suaminya pun mengerti, meskipun ia sendiri belum bisa membantu memecahkan misteri nama itu. Sebagai rektor baru, Pak Fahmi memang belum sempat mengenal pencipta lagu mars dan himne universitas yang dipimpinnya. Mendengar lagunya saja baru kemarin. Dan yang pasti umur jabatannya pun jauh lebih muda dibandingkan dengan umur lagu-lagu itu.

Keesokan harinya, sesuai rencana, mereka pun berangkat ke Bandung untuk menengok putri mereka, Nisa. Lebih dari sekedar untuk menengok Nisa, sebetulnya Bu Rahmi dan suaminya punya rencana yang lebih serius. Mereka bermaksud menjajagi hubungan putri mereka dengan jejaka idamannya. Sebab kira-kira dua minggu ke belakang, putri mereka mengabari bahwa dia belum lama ini mengenal seorang pria dan merasa terpikat olehnya.
Kira-kira pukul sembilan pagi mereka tiba di tempat tujuan. Kedatangan mereka disambut putri mereka dan Bi Irah.
“ Nisa, buat Bapa mah lebih cepat lebih baik. Yang penting kamu sendiri sudah yakin dengan pilihanmu.” Pak Fahmi mulai mengarahkan obrolan kangen mereka dengan topik yang lebih serius.
“ Iya Nis, Ibu juga gitu. Eh, ngomong-ngomong arjunamu itu orang mana dan apa pekerjaannya ?” Bu Rahmi menyambung kalimat suaminya.
“ Kang Dani itu aslinya orang Tasik, orang tuanya tinggal di sana. Di Bandung ini, dia bekerja di PT Ahad Komunika.” Jelas Nisa.
“Memangnya dia sarjana tehnik gitu ?” Pak Fahmi menebak-nebak.
“Bukan Pak. Kang Dani itu sarjana agama terus gelar masternya di bidang sosiologi”.
“Kok bisa di sana?” Bu Rahmi penasaran.
“Ah Ibu, di perusahaan itu kan ada HRD-nya, dan kang Dani jadi manajer di departemen itu. Oke khan Pak ?” Jawab Nisa sambil memancing komentar bapaknya.
“Iya…iya. Terus kamu bisa kenal sama dia di mana?” Selidik Pak Fahmi.
“Kenal pertamanya sih, di tempat dia bekerja. Waktu itu Nisa sedang presentasi desain untuk seragam karyawan PT AK. Kebetulan kang Dani ikut dalam meeting itu dan memberikan masukan-masukan untuk desain busana muslimahnya. Selanjutnya kita sempat ketemu lagi dua kali, itupun dua-duanya di mesjid PT AK. Yang satu tidak disengaja yang satunya lagi disengaja”. Papar Nisa.
“Kok begitu. Maksudnya gimana”. Bu Rahmi tambah penasaran.
“Iya, yang pertama ketika penandatanganan MOU. Kebetulan saat itu Nisa shalat dhuhur di sana dan ikut menyimak kultumnya kang Dani. Terus yang keduanya, karena kita sudah punya nomor HP masing-masing, kita pernah janjian ketemu lagi di sana juga pas istirahat. Terus…. ya gitu dech..kita banyak kontak lewat telepon.”
“Dia pernah main ke sini Nis ?” Tanya Bu Rahmi.
“Belum tuh, katanya dia mau ke sini kalau Nisa udah ngenalin kang Dani sama Ibu dan Bapak. Oh iya.. sebentar ya Bu.” Jawab Nisa sambil beranjak dari tempat duduknya menuju ke kamar. Tak lama kemudian dia keluar membawa PDA di genggamannya.
“Ini lho Bu, Pak, fotonya”. Nisa memperlihatkan beberapa file foto Dani yang ia saving dalam PDA-nya.
“Ganteng juga lho Pak, nih lihat… “. Komentar bu Rahmi sambil memperlihatkan tampilan foto itu kepada suaminya. Sementara Nisa kelihatan agak tersipu-sipu mendengarnya.
“Kang Dani bilang…”. Lanjut Nisa. “Jika Ibu dan Bapak sudah mendapat gambaran yang cukup dari cerita Nisa dan foto-foto ini, dia bermaksud langsung melamar. Meskipun nanti Ibu dan Bapak belum tentu menerima lamarannya, kang Dani sudah siap”. Kata Nisa dengan tatapannya yang penuh harap.
“Umurnya gimana Nis ?” Pak Fahmi kembali bertanya.
“Kalau itu sih, hampir mirip dengan selisih umur antara Bapak dan Ibu. Nggak apa-apa khan Pak ?” Jawab Nisa semakin memperkuat harapannya.
“Oke deh, kalau begitu Bapak titip pesan buat Dani-mu itu. Kapan saja dia siap untuk melamar, Bapak dan Ibu insyaallah siap. Iya kan Bu?” Balas Pak Fahmi sambil menoleh kepada istrinya.
“ Iya…iya, gitu aja”. Bu Rahmi menyetujui.

Pembicaraan itu mengalir lancar begitu saja sampai Bi Irah memberitahu mereka bahwa hidangan sudah siap disantap. Maka merekapun makan bersama. Bu Rahmi hampir saja lupa dengan sebuah nama yang sejak kemarin menyita pikirannya, jika saja Nisa tidak mengajak ibu dan bapaknya menonton sebuah VCD yang katanya ditemukan di gudang dan tidak terbawa ke Cirebon.
VCD itu ternyata film dokumenter yang pernah diterima Bu Rahmi tiga puluh lima tahun yang silam dari seorang temannya ketika dia lulus dari bangku SMP Insan Taqwa di kota Tasikmalaya. Di sanalah Bu Rahmi pernah belajar selama satu tahun. Dia tidak menamatkan SMP-nya di sana, sebab ketika baru saja naik kelas dua, dia harus pindah bersama orang tuanya yang ditugaskan ke pulau Batam.
Kualitas gambarnya masih lumayan untuk kepingan CD setua itu. Berkat hoby bu Rahmi waktu masih remaja, tidak kurang dari dua ribu keping CD berdiameter 12 sentimeteran masih terawat dengan baik dalam sebuah lemari khusus. Ada CD audio, VCD, CD mp3, DVD, dan juga CD-CD Data. Semuanya disusun dengan rapi lengkap dengan katalog indeks untuk setiap kepingnya. Namun karena saat ini teknologi penyimpanan data sudah lebih maju beberapa langkah, Bu Rahmi tidak perlu membawa serta koleksinya itu ke rumahnya yang baru di Cirebon. Sebagai gantinya ia cukup membawa semua backup-nya yang tersimpan aman dalam suatu piranti data storage yang sangat ringkas, sehingga bisa ia bawa-bawa dalam tas tangannya.
Dengan seksama bu Rahmi menyaksikan video itu dari satu track ke track lainnya. Ada tayangan ketika dia mengikuti masa orientasi siswa. Terlihat ia sedang meledakkan balon di atas kepala teman barunya, si Nuri, dengan sebatang jarum di ujung pensil yang ia gigit di mulutnya.
Pada track yang lain ada juga tayangan ketika ia mengikuti kemping di Cipanas Galunggung. Seru sekali tampaknya. Dan ia masih ingat juga ketika ia harus berpisah dengan teman-temannya hanya beberapa hari setelah kegiatan kemping itu, karena harus pindah ke Batam.
Hampir satu jam Bu Rahmi, suami, dan puterinya menonton. Sesekali diselingi komentar-komentar di antara mereka sambil menikmati makanan kecil yang ada. Sementara di layar video terlihat tayangan setiap guru sedang memberi ucapan selamat dan pesan-pesan bagi kelas tiga yang baru pada lulus. Ada juga yang hanya tampilan foto dengan untaian kata-kata seperti puisi.
Di akhir tayangan Bu Rahmi dikagetkan dengan sebuah flying text yang berbunyi “featuring Himne SMP Insan Taqwa Cipt. Halim Azwar Lazuardi……”. Seperti hari kemarin ia pun kembali sempat tertegun setelah membaca nama itu. Hanya saja kali ini ia langsung teringat Nuri temannya yang dulu mempaketkan VCD itu kepadanya ketika di Batam. Kalau dengan Nuri kebetulan ia masih suka berhubungan meski lewat telepon. Maka saking penasarannya, ia langsung menelpon Nuri.
“Hallo, Assalamu ‘alaikum…..”
“Wa ‘alaikum salam…”
“Bisa bicara dengan Ibu Nuri, ini dari temannya.”
“Saya Nuri, Ibu siapa ya?”
“Hey Nur, ini aku, Rahmi.”
“Masya Allah… Mi..Mi. pangling aku denger suaramu. Aduh gimana kabarmu, udah lama ya kita nggak ketemu sejak aqiqahan si Nisa. Eh… udah punya cucu belum…?”
Selanjutnya Bu Rahmi pun kangen-kangenan dengan temannya lewat telepon. Dan ketika ia menceritakan tentang nama itu, temannya pun sempat kaget juga.
“Mi, itu tu pak Ardi guru seni musik kita waktu di SMP IT dulu. Nama lengkapnya memang Halim Azwar Lazuardi.” Jelas temannya.
“Oh… pak Ardi. Ya ampun iya-iya aku ingat sekarang. Kalau nggak salah, dia kan yang menjuluki kita AB-Three ? Bu Rahmi mencoba memastikan.
“Iya betul…… dan Mi, aku dengan si Dilla termasuk siswa yang deket lho dengan pak Ardi. Terutama setelah AB-Three kita minus kamu. Maklum dia itu orangnya seperti tertutup dan dingin. Padahal ternyata itu cuma akting dia saja kalau di kelas”.
“Oh gitu. Tapi kita memang jarang kan ketemu dia di sekolah kalau bukan di kelas.”
“Iya memang. Soalnya pak Ardi kan guru honorer. Jadi ia hampir nggak punya kesempatan untuk deket dengan para siswa seperti guru-guru lain yang statusnya guru kontrak atau guru tetap”.
“Eh Mi, tahu nggak ?” Sambung temannya. ”Aku kan dulu waktu selesai UAN pernah main ke rumah pak Ardi sama si Dilla. Ya ampun…. Mi, ternyata beliau itu orangnya sip banget. Terbuka dan mau menerima curhat berbagai masalah. Sampai aku masuk SMA SATAS, aku sering konsultasi. Apalagi sejak ia menikah, istrinya pun deket juga sama kita. Malah kalau pak Ardi nggak lagi di rumah aku juga suka curhat sama istrinya”.
“Oh ya, emang orang mana istrinya ?” Bu Rahmi penasaran.
“Masih orang Tasik. Cuma dulu mereka sama-sama kuliah di Yogyakarta. Pak Ardi di IAIN dan istrinya di psikologi UGM”. Jelas temannya.
“Oh…. pantesan curhatmu bisa nyambung”. Komentar Bu Rahmi.
“Eh Mi, gara-gara VCD itu aku sempat nangis lho dulu”. Temannya membuka kisah.
“Nangis kenapa ?” Bu Rahmi jadi penasaran.
“Ketika baru satu semester jadi siswi di SMA SATAS, aku kangen sama temen-temen. Terus aku tonton lagi VCD itu. Dan pas tampilan guru-guru pada ngasih ucapan selamat itu, aku penasaran ketika giliran pak Ardi yang cuma photo dan ada kata-kata. Kalau playernya nggak di-pause tulisan itu pasti nggak bakal terbaca semuanya soalnya keburu berganti tampilan lain. Maka ketika ku-pause …menangislah aku membaca puisinya pak Ardi”. Kenang temannya.
“Emang puisinya gimana gitu Nur ?” Bu Rahmi masih pemasaran.
“Ah… kamu lihat lagi aja di VCD. Aku pun nggak hapal. Tapi kesannya dalem banget…”. Temannya menjawab dengan saran.
Demikian pembicaraan Bu Rahmi dengan temannya. Setengah jam berlalu tanpa terasa. Kemudian ia beranjak kembali ke ruang tengah. Sepintas ia melihat suaminya sedang duduk-duduk santai di taman ditemani puterinya yang sedang merapikan tanaman bunga.
Sejurus kemudian, ia sudah berada di depan televisi. Karena penasaran, ia langsung menekan tombol-tombol remote control yang sudah ada di genggamannya. Sesuai petunjuk temannya ia langsung memilih track 12. Tepat pada tayangan photo pak Ardi ia lalu menekan tombol pause dan tampaklah untaian puisi sebagai berikut :

AKU DEBUMU

Maafkan aku
bila selama ini aku hanya debu di matamu
Saat kusinggah di matamu
Mungkin matamu tak pernah melihatku
Tapi merasakan kehadiranku
Dalam kepedihan matamu

Maafkan aku
Bila selama ini aku hanya debu di baju sekolahmu
Tak seperti tinta
Aku tak mampu melekat kuat di baju sekolahmu
Angin musim kini begitu kuat menerpa di sekitarmu


Maafkan aku
bila selama ini aku hanya debu di kepalamu
Saat kusinggah di kepalamu
Beratku terlalu ringan
Untuk mengambil pusingmu padaku

Maafkan aku
Bila selama ini aku hanya debu di telapak kakimu
Seberat apapun hentakan telapak kakimu
Aku terlalu halus untuk diremukkan.

Menyimak puisi itu, Bu Rahmi nampak biasa-biasa. Tidak ada perasaan mendalam seperti yang dialami temannya. Entah karena usianya yang sudah kepala lima atau karena ada episode-episode kenangan yang tidak sempat ia alami seperti yang dialami temannya bersama pak Ardi.
Belakangan ia pun mengerti setelah temannya menceritakan bagaimana kejenuhan belajar pada saat-saat akhir di kelas tiga. Katanya, anak-anak kelas tiga ketika itu sudah tidak fokus lagi belajar. Apalagi untuk pelajaran-pelajaran yang tidak di-UAN-kan. Termasuk pelajaran seni musiknya pa Ardi. Kalau pelajaran seni musik, anak-anak maunya nyanyi dan nyanyi. Sementara pak Ardi tidak selalu melayani kemauan mereka, karena tuntutan kurikulum memang tidak demikian. Sampai akhirnya pak Ardi lebih sering ceramah tentang akhlak daripada materi seni musiknya. Itupun hanya disimak beberapa anak saja yang kebetulan tidak suka ngobrol di kelas.
Sebulan telah berlalu. Sejak apa yang dialami Bu Rahmi ketika di Bandung, ia sudah tidak lagi terbelit misteri pak Halim yang ternyata pak Ardi itu.
Kini ia bersama suaminya sedang berada di perjalanan menuju ke Bandung. Ada kabar dari Nisa, bahwa Dani mau datang melamar bersama orang tuanya. Pertemuan dua keluarga itu sengaja direncanakan di Bandung supaya lokasinya berada di tengah-tengah antara Tasikmalaya dan Cirebon.
Sesuai rencana, pada hari ahad sekitar jam empat sore, keluarga Dani tiba di tempat kediaman bu Rahmi. Mereka disambut dengan hangat oleh tuan rumah. Seperti biasa, terlebih dahulu mereka saling beramah-tamah sekadarnya. Selanjutnya disambung dengan penyampaian maksud dari pihak keluarga Dani. Dan akhirnya, tanpa banyak mempertimbangkan lagi hal-hal yang sebelumnya memang telah dipertimbangkan, dari pihak keluarga Nisa pun secara resmi menerima lamaran keluarga Dani.
Setelah acara inti terlaksana, kemudian mereka terlibat dalam obrolan berkelompok. Bu Rahmi, Nisa, dan ibunya Dani di satu kelompok. Sementara Pak Fahmi, Dani dan ayahnya di kelompok lain. Layaknya orang yang sudah kenal lama, mereka ngobrol sedemikian akrabnya. Sampai suatu saat Pak Fahmi memangggil Bu Rahmi.
“Bu, coba ke sini !” Panggil pak Fahmi.
“Ada apa Pak ?” Jawab bu Rahmi sambil mendekat duduk di samping suaminya.
“Ibu masih ingat nama ayah Dani waktu kenalan tadi ?” Tanya pak Fahmi
“Iya masih, Pak Azwar kan ?” Jawab bu Rahmi sambil menatap suaminya dengan terheran-heran dan mencoba menerka-nerka.
“Begini Bu, Pak Azwar ini adalah…” Pak Fahmi belum menyelesaikan kata-katanya.
“Pak Ardi….masyaallah Bapaaak… ! Bu Rahmi memotong seraya dengan spontan duduk bersimpuh di hadapan ayahnya Dani. Dipegang dan diciumnya tangan pak Ardi. Ibarat seorang anak di hadapan bapaknya, bu Rahmi menangis terisak-isak. Entah berapa ribu kata yang menyesak di dadanya. Rasa haru, rasa hormat, dan perasaan-perasaan lain bercampur jadi satu dengan kilasan-kilasan memori tentang gurunya sampai untaian kata-kata dalam puisinya.
“Ya Allah..!” Batinnya. “Maha Suci Engkau Yang telah menundukkanku untuk bersimpuh di hadapan guru seni musikku yang anak bungsunya mau mempersunting putri tunggalku !”



Hill Man's
Tasikmalaya,
medio nopember 2005